Syarah Hadits Arba’in Keempat "Penciptaan Manusia"

Jumat, 11 Maret 2016


Artinya:
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Penjelasan Hadits:
Hadits ini mengandung informasi ilmiyah tentang tahapan kejadian manusia di dalam perut ibunya. Janin dalam kandungan ibunya mengalami perkembangan beberapa fase, setiap fase berlangsung selama empat puluh hari : 1. Sperma (benih), 2. Segumpal Darah, 3. Sepotong Daging, 4. Peniupan ruh.
Sperma berlangsung selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah), selama empat puluh hari juga, kemudian berkembang lagi menjadi sepotong daging selama empat puluh hari. Setelah seratus dua puluh hari, datanglah malaikat meniupkan ruh ke janin itu.
Hadits ini juga mengandung keterangan tentang takdir, sebuah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt bagi setiap manusia menyangkut 4 hal ; rezeki, batas umur (ajal), amal (baik dan buruk), serta nasib (mulia atau celaka).
Perbedaan antara Qadha dan Qadar:
Ada dua istilah yang popular dalam masalah taqdir ; yaitu Qadha’ dan qadar. Keduanya sama-sama dipahami sebagai ketentuan Allah atas makhluk. Namun keduanya dapat dibedakan. Qadha’ lebih khusus dari Qadar, karena qadha’ merupakan keputusan di antara taqdir. Sedangkan qadar adalah taqdir itu sendiri. Qadha’ adalah ketetapan atau keputusan dari taqdir.
Para Ulama menerangkan perbedaan anatara kedua istilah di atas dengan membuat perumpamaan antara barang yang ditimbang dengan timbangan itu sendiri. Barang yang ditimbang disebut Qadar, sedang timbangan disebut qadha’. Abu ‘Ubaidah berkata kepada Umar ketika ia ingin lari dari wabah Tho’un di Suriah, “Apakah Anda ingin lari dari Qadha’ (ketetapan) Allah? Beliau menjawab : “Ya, saya lari dari Qadha’ Allah kepada Taqdir (qadar) Allah.” Maksudnya sebuah Qadar selama belum menjadi qadha’, masih ada harapan akan ditolak oleh Allah. Tetapi bilamana ia sudah menjadi qadha (keputusan) Allah, maka ia tidak dapat ditolak.
Keempat masalah tadi sudah ditentukan oleh Allah Swt pada waktu seseorang ditiupkan ruh kepadanya di dalam rahim ibunya. Namun bagi manusia, semua hal itu adalah masalah ghaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allah. Siapapun tidak mengetahui tentang ajalnya, kapan akan tiba. Yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Begitu pula halnya dengan rezeki. Setiap orang sudah ditentukan (dituliskan) Allah rezekinya, apakah ia menjadi orang kaya, atau orang miskin, berapa pendapatannya. Seperti itu juga tentang amalnya, apakah amalnya di dunia ini baik atau buruk. Apakah ia akan menjadi manusia yang baik atau manusia penjahat. Dan juga telah dituliskan Allah apakah ia akan menjadi ahli syurga atau penghuni neraka.
Secara ketentuan, memang demikian adanya. Tapi apakah manusia mengetahui ketentuan tentang dirinya? Pasti “tidak”. Karena hal ini adalah masalah yang ghaib yang tidak diberitahu Allah siapapun kecuali orang yang Dia kehendaki. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang mengklaim bahwa dirinya mengetahui tentang nasib seseorang, atau masa depan seseorang, dia sebenarnya dalam keadaan berbohong.
Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya manusia berusaha (berikhtiyar), dan bekerja jika rezekinya sudah ditentukan? Jawabnya, Allah swt yang menetapkan takdir itu, Dia juga yang memerintahkan manusia untuk berusaha. Jadi usaha (ikhtiyar) wajib dilakukan berdasarkan perintah syari’at, sementara hasil dari ikhtiyar itu sudah ditentukan oleh Allah swt. Mungkin saja ikhtiyar itu berhasil dan menjadi penyebab bagi kesuksesan seseorang. Tetapi bisa jadi ikhtiyar itu gagal dan belum berhasil. Hanya Allah lah yang mengetahuinya.
Begitu juga dengan umur. Apabila seseorang sakit, maka ia wajib untuk berobat. Apakah pengobatan itu akan berhasil, sehingga si sakit itu menjadi sembuh, atau pengobatannya tak berhasil dan akhirnya ia meninggal, maka yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Yang menentukan umur dan ajal itu adalah Allah dan Dia juga yang memerintahkan untuk berikhtiyar, berobat, jika seseorang mengalami sakit.
Demikian pula dengan amal. Manusia wajib berikhtiyar dengan mengusahakan amal yang baik, menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarangNya, atau wajib berbuat thaoat kepada Allah dan RasulNya. Artinya wajib bagi seseorang menapaki jalan hidup yang benar sesuai perintah Allah. Ia tidak boleh mengatakan, bahwa ia berbuat jahat karena Allah swt telah menetukan demikian. Ini adalah anggapan keliru. Allah swt sudah menerangkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk, kemudian manusia diberi akal untuk bebas menetukan pilihan, apakah ia memilih jalan yang baik atau sebaliknya. Allah juga menerangkan konsekuensi dari pilihan itu, bahwa siapa yang memilih jalan yang baik, akan mendapatkan ganjaran yang baik. Dan siapa memilih jalan yang salah, akan menerima ganjaran (hukuman) yang berat. Yang dinilai oleh Allah di sini adalah pilihan manusia.
Barangsiapa yang memilih jalan yang salah, maka ia dihukum karena pilihannya yang salah itu. Bukan Allah Swt yang sejak awal menginginkan dirinya supaya salah atau tersesat. Allah Swt tidak menentukan (memaksakan) seseorang agar jadi pezina atau penjahat, akan tetapi, ia menjadi jahat atau baik karena pilihannya. Namun Allah mengetahui dari awal bagaimana perjalanan orang tersebut di kemudian hari.
Kemudian suatu perbuatan baik, tidak akan terjadi kecuali atas seizin Allah dan petunjuk Nya. Demikian juga suatu perbuatan jahat, tidak akan terjadi kecuali izin Allah Swt. Maka ketika kebaikan terjadi, seorang hamba harus bersyukur kepada Allah, dan ketika keburukan terjadi, ia harus beristighfar kepadaNya.
Jadi keimanan kepada taqdir adalah mutlak, namun manusia dalam hidup ini harus tunduk kepada ketentuan Syari’at, seperti kewajiban berikhtiyar.
Dua jenis Perubahan; menjadi baik atau menjadi jahat:
Ujung dari hadits ini membuat perasaan setiap Muslim ketakutan dan khawatir. Rasulullah memberikan rincian yang lebih detail mengenai nasib masa depan seseorang di akhirat, apakah ia sebagai penghuni Syurga atau neraka. Ada orang yang sudah ditakdirkan sebagai penghuni neraka, maka kehidupannya di dunia akan senantiasa mengarah pada perbuatan dan prilaku ahli neraka, kendatipun orang tersebut pada awalnya beramal sebagaimana amal ahli syurga, namun tulisan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu. Hidupnya belakangan berubah menjadi buruk. Ia berprilaku seperti prilaku ahli neraka, kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, tempatnya kelak akan di neraka.
Secara ekstrim dicontohkan oleh Nabi Saw dalam hadits tersebut, bahwa ada orang yang sejak awal hidup dan beramal sebagaimana amal ahli syurga dan itu berlangsung terus menerus puluhan tahun hingga menjelang akhir hayatnya, ia berubah drastis (seratus delapan puluh derajat). Kata Nabi Saw : “Hingga jarak antara dia dengan syurga itu hanya sehasta saja”, menunjukkan saking dekatnya jarak tersebut. Andaikan ia meninggal dalam kesolehan seperti itu, ia akan masuk syurga. Namun ketentuan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu, akhirnya iapun berubah dengan drastis (mendadak) dan kehidupannya sama seperti kehidupan ahli neraka, seperti kafir kepada Allah (murtad), mendustakan dan melecehkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an), menghina Rasulullah, meragukan dan merendahkan  syari’at Allah, bahkan ada yang sampai mengaku sebagai Nabi atau mendapat wahyu dari Jibril, meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak berpuasa Ramadhan, dan perbuatan-perbuatan lain yang menjerumuskan manusia. Lalu ia mati dalam keadaan seperti ini, maka tempat yang menunggunya adalah neraka.
Ada apa gerangan perubahan itu?
Sebagian orang yang pada masa kecilnya baik dan tumbuh dalam ketaatan, tetapi karena pergaulan atau hidup di lingkungan orang-orang fasik yang tidak peduli dosa dan maksiyat, akhirnya terikut dan terbawa arus. Ia hidup dalam suasana Jahiliyah, jauh dari sinar Islam, akrab dengan maksiyat, narkotika, khamar, seks bebas, uang haram dan lainnya.. Begitulah hidupnya berlangsung hingga akhir hayatnya. Mereka inilah yang dikatakan sebagai ahli neraka. Na’uzu billah.
Namun Orang yg sudah menjadi baik dari awal, tidak seharusnya menjadi sombong, karena yang membolak-balikan hati adalah Allah Swt. Ia haruslah tetap berharap pada Allah, agar keadaannya yang baik, tidak berubah menjadi sebaliknya. Agar Allah memberikan kemantapan Iman hingga akhir hayatnya.
Perubahan Menjadi Baik:
Hadits tersebut juga memberikan contoh perubahan lain yang positif yaitu berubah menjadi baik, dari keadaan sebelumnya buruk dan jahat. Perubahan yang disajikan juga perubahan yang relatif ekstrim. Umpamanya, seseorang yang pada awalnya hidup dalam kekafiran, kedurhakaan, kefasikan. Saking buruknya amal orang tersebut diibaratkan jarak anatara dia dengan neraka hanya sehasta saja. Jika ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan masuk neraka. Akan tetapi suratan takdir sudah lebih dulu dituliskan, bahwa orang itu akan menjadi ahli syurga, lalu iapun berubah, sekalipun perubahan itu hanya berlangsung sebentar menjelang kematiannya. Namun kematiannya tiba setelah ia menjadi baik dan bertaubat. Inilah yang sering dikenal dengan “husnul Khatimah” (akhir kehidupan yang baik). Dan yang menentukan posisi seseorang adalah penutup amalnya. (al-A’mal bi-Khawatimiha). Kalau penutup amalnya baik, ia akan masuk syurga, dan jika penutup amalnya buruk, ia akan masuk neraka.
Salah paham terhadap Hadits ini
Hadits ini tidak boleh disalah pahami. Tidak boleh seseorang berprasangka, bahwa tak ada gunanya berusaha jadi baik, toh kalau takdirnya masuk surga, keadaan akan berubah menjadi baik. Seolah-olah manusia hanya seperti robot. Tidak. Sungguh tidak begitu. Tujuan hadits ini bukan demikian,.karena tak seorangpun yang mengetahui takdir dirinya atau orang lain, kecuali hanya Allah. Yang jelas Allah sudah menerangkan mana jalan yang baik dengan segala konsekuensinya dan mana jalan yang salah dengan segala resikonya. Manusia diberi kebebasan memilih dua jalan itu. Toh manusialah yang menentukan pilihannya.
Dampak dari Hadits ini
Dampak dari memahami Hadits ini secara benar ialah : jika seseorang merasa dirinya sudah berbuat baik sejak lama, ia harus berhati-hati dengan kemungkinan perubahan hidup yang bisa saja terjadi kapan saja. Karena yang membolak-balikkan hati adalah Allah Swt. Oleh karenanya ia harus berusaha sekuat tenaga menjaga kesolehan itu dan mengantisipasi agar tidak berubah. Caranya ialah dengan menjauhi hal-hal yang membuat manusia terjerumus ke dalam neraka, seperti menjaga pergaulan dan tidak mempergauli kecuali orang-orang yang baik saja. Begitu banyak orang celaka, yang awalnya bermula dari pergaulan yang buruk, salah memilih teman. Begitu juga menghindari sedapat mungkin godaan-godaan dunia yang berpotensi menggelincirkan, seperti jabatan, harta dunia, kesenangan yang menipu.
Bagi orang yang berperilaku buruk dan kufur, maka dengan mendengar hadits itu, menimbulkan harapan dalam dirinya, bahwa jika ia berubah menjadi baik, Allah itu Maha Pemaaf dan Pengampun, dan akan memasukkannya ke dalam syurga. Orang yang mau meninggal pun jika ia berubah menjadi baik, akan masuk syurga, apalagi orang yang masih lama masa hidupnya, jika ia menjadi baik, maka kemungkinan masuk syurganya akan lebih besar, Insya Allah.


*pernah dimuat di Buletin Baitul Mal Barokah Edisi 5 Bulan Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan kritik dan saran anda...Jazakumullah Khoir...