Haramnya Muslim Terlibat Natal

Sabtu, 18 Desember 2010

0 komentar
Oleh: Pak Nadi, Peminat Kristologi

Solo, 29 Nov 2010

KATAKAN YANG HAQ ADALAH HAQ, YANG BATIL ADALAH BATIL

JANGAN MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN KARENA AKAN DILAKNAT ALLAH


NATALPUN URUSAN UMAT ISLAM

Sekarang ini Natal bukan hanya urusannya umat Kristen tetapi telah menjadi urusan umat Islam pula. Kenapa ? Tidak banyak yang menyadari bahwa semakin mewabah dimana-mana umat Islam telah sengaja diprovokasi, dijebak dan dijerumuskan untuk terlibat dalam Natalan. Berikut adalah pernyataan mereka di Majalah Kristen Bahana, Januari 2008 “Gereja bertekad bahwa kebahagiaan Natal haruslah dirayakan dan dibagikan ke sesama, tanpa peduli agama, ras dan suku”

Maka Istilah Natal bersama bukan lagi sekedar bermakna kebersamaan perayaan Natal antara umat Kristen Katolik dengan umat Kristen Protestan atau dengan umat Kristen dari aliran/ sekte yang lain, tetapi juga melibatkan umat Islam atau umat non Kristen lainnya.

Permasalahannya adalah :

1. Natal meskipun sepintas yang tampak adalah kebahagiaan, hakekatnya adalah malapetaka akherat. Natal semarak dengan aneka dosa yang bisa mengundang murka Allah. Mau tahu sebabnya ? Baca tuntas tulisan ini.

2. Aneka dosa yang melekat pada natal tentulah sudah disadari elite-elite Kristen. Gereja kalau memang komit pada kebenaran, kenapa justru menikmati dan terus menghidup-hidupkan natal ? membiarkan umatnya menangguk dosa ?

3. Untuk apa Gereja bertekad (bernafsu) merayakan natal bersama umat agama lain (Islam dll) ? Apa mereka tidak tahu bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401 H bertepatan dengan 7 Maret 1981 di Jakarta telah mengeluarkan fatwa mengharamkan umat Islam mengikuti perayaan Natal dan menganjurkan untuk tidak terlibat natal ? Apa para Islamolog mereka tidak tahu kalau di Islam berlaku prinsip Lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang menyiratkan larangan bagi umat Islam untuk ikut mengamalkan syariat orang kafir / non Islam ? Atau justru tidak ingin kotor sendiri, gereja menarik umat Islam untuk merasakan guyuran dosa natal bersama mereka ?

4. Tekad atau lebih tepat disebut kenekadan Gereja bukankan suatu bentuk intoleransi , terorisme akidah, melecehkan prinsip agama Islam dan memprovokasi umat Islam yang justru akan memicu SARA ? Artinya siapa penabuh genderang perang ? Gereja atau umat Islam yang terpanggil berjuang membentengi akidah umatnya ?

BID’AH NATAL

Sudah jelas dan semua orangpun telah maklum bahwa natal bukanlah ajaran Islam, tidak ada petunjuk untuk melaksanakannya baik didalam Al Qur’an maupun As Sunah. Wajar kalau umat Islam banyak kurang paham tentangnya.

Natal adalah ibadah yang paling sakral, paling populer bagi umat Kristen. Natal sekaligus merupakan perayaan yang paling meriah yang dirayakan oleh mayoritas penduduk dunia. Setiap tahun umat Kristen tidak pernah absen merayakannya dengan gegap gempita.

Tetapi sungguh ironis bin lucu, ternyata umat Kristen masih banyak yang tidak tahu menahu, tidak paham bahwa natal itu tidak alkitabiah. Artinya natal itu tidak relevan bahkan menyimpang dari isi Alkitab.

Mereka tidak menyadari bahwa tidak satu kata “natal” pun tercantum didalam Alkitab yang sering juga disebut Bible atau Injil. Perayaan paling popular itu ironisnya sama sekali tidak dikenal di Alkitab yang manakala pergi ke gereja mereka selalu tak pernah lupa menentengnya dengan anggunnya. Padahal Alkitab yang mereka yakini sebagai Kitab Suci Firman Tuhan, semestinyalah menjadi acuan, pedoman umat Kristen dalam melakukan perkara apapun apalagi perkara sepenting natal. Dengan kata lain kalau memang natal itu perkara penting dimata Tuhan, tentulah Tuhan memfirmankannya. Lalu bagaimana mungkin gereja dan umat Kristen bisa mengabaikan fakta bahwa “natal” tidak tercantum di Alkitab ? Untuk apa ada slogan Sola Scriptura ?natal bisa dipastikan bukan pep>

Tidak adanya kata “natal” di Alkitab mengarahkan kepada kesimpulan brintah Tuhan tetapi hanyalah perintah manusia. Silahkan umat Kristen merenungkan di Alkitab Kitab Matius pasal 15 ayat 9 yang berbunyi “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." Logikanya kalau umat Kristen taat kepada yang mereka yakini sebagai Firman Tuhan, maka natal yang hanyalah perintah manusia sehingga percuma, haruslah sudah ditinggalkan mereka dulu-dulu.

Natal tidak mungkin sudah dikenal apalagi diajaran oleh “Tuhan” Yesus sewaktu masih hidup, Lebih mustahil lagi jika natal diajarkan oleh Yesus sesudah mati disalib seperti yang mereka yakini. Menurut sejarah, ritual natal memang tidak pernah dirayakan oleh murid-murid Yesus maupun penganut Kristen diabad-abad awal masehi. Natal baru ditradisikan oleh Paus Liberius di Roma sejak abad ke empat, tepatnya tahun 336 Masehi.

Boleh dibilang ritual natal adalah sesuatu yang baru alias mengada-ada alias orang Kristen bilang bidat. Kalau dalam syariah Islam, ibadah dan perayaan / syiar agama yang mengada-ada, yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya itu termasuk perkara bid’ah. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa setiap yang bid’ah (mengada-ada) itu dhalalah /sesat (secara bahasa ada bid’ah hasanah tetapi secara syar’I tidak ada yang namanya bid’ah hasanah) dan setiap yang sesat itu pastilah bermuara ke neraka.

Menurut isi Alkitab, Yesus selalu mengajarkan umatnya agar hanya mengikuti kehendak Bapa yaitu Allah di sorga yang mengutus Yesus. Kitab Matius pasal 7 ayat 21 menyatakan : “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. Kitab lain yaitu Yohanes pasal 5 ayat 30 menyatakan : “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.

Bisa disimpulkan bahwa ritual perayaan natal bagi umat Kristen pastilah menyimpang dari kehendak Bapa , berarti juga mendurhakai Yesus yang mereka pertuhankan. Ajaran Yesus untuk selalu mengikuti kehendak Bapa, tidak digubris umat Kristen. Terbukti mereka tetap saja melaksanakan natal setiap tahunnya walaupun bukan kehendak Bapa alias hanya kehendak / ajaran manusia.

Selain tidak mengikutin kehendak Bapa, ritual natal yang tidak ada tuntunannya di Alkitab juga melanggar larangan yang ada di Alkitab untuk tidak menambah atau mengurangi apa yang tercantum di Kitab Suci. Silahkan buka Alkitab Perjanjian Lama, Kitab Ulangan pasal 12 ayat 32 yang menyatakan : “Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu lakukan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” Maka pantaskah kalau natal disebut sebagai suatu bentuk kebaktian kepada Tuhan ? Bahkan melaksanakan natal sendiri adalah bentuk ketidak-taatan kepada kehendak Tuhan dan pelanggaran isi Alkitab yang notabene mereka yakini sebagai Firman Tuhan.

NATAL VS AL WALA’ WAL BARA’

Sangat disayangkan dikalangan umat Islampun banyak sekali yang belum kuat akidahnya. Tidak banyak paham tentang Kristen maupun natal sehingga salah sikap dalam merespon natal. Demi meraih simpati dan dukungan, Politikus : Cagub, Cawali, Cabup, Caleg, Pengurus Partai, ramai-ramai pasang spanduk “Selamat Natal”. Termakan jargon toleransi dan pluralisme, Pejabat dan Tokoh muslim rela jadi penggembira bahkan memberi sambutan dalam Natal . Demi pekerjaan, karyawan pusat perbelanjaan rela didandani ala badut sinterklas, Demi bingkisan natal, kaum dhuafa rela jadi penggembira dan turut bersukacita dalam Natal. Demi bisnis, rumah makan; kantor; toko / ruang bisnis apapun disulap tuk menyemarakkan natal. Demi persahabatan, menjaga relasi, menunjukkan simpati, maka muslim gaul menebarkan : SMS, kartu ucapan dan parcel Natal.



Gambar di atas menunjukkan seorang muslimah berjilbab sowan kepada romo / pastur Katolik untuk berjabat tangan mengucapkan “Selamat Natal”, sebagai wujud kasih sayang, turut bergembira atas lahirnya “Tuhan” Yesus Kristus Sang Juru Selamat Penebus Dosa. Mungkin muslimah tersebut ingin memanfaatkan momentum perayaan natal untuk memperbaiki citra Islam yang selalu distigmatisasi bahwa Islam adalah identik dengan kekerasan dan terorisme. Mungkin juga ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa Islam itu rahmatan lil alamin dengan arti seperti yang ia pahami, yaitu harus bersikap baik kepada siapapun, tidak peduli hizbullah atau hizbusy-syaitan, iman atau kafir, hak atau batil, makruf atau munkar, halal mapun haram.

Tapi yang pasti muslimah tersebut tidak pernah memahami atau bahkan menutup mata tentang konsep al wala’ wal bara’, sikap loyal, pembelaan hanya kepada Allah, Rasul dan siapapun orang beriman. Sebaliknya membenci, menolak, berlepas diri, tegas terhadap kekufuran dan siapapun pendukung kekufuran.

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS Al Mujaadilah [58]:22 )

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al Fath [48]:29)

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah"… (QS Mumtahanah [60]:4)

Al wala’ wal bara’, sikap yang mustahil muncul kecuali memahami dan mengamalkan tauhid dengan benar ini, memang berat dan penuh resiko. Kebanyakan orang terutama para pejabat, tokoh dan siapapun yang lebih memilih dunia sebagai surganya pastilah tidak suka, alergi dan phobi. Lebih lebih dijaman yang sedang getol-getolnya digembar-gemborkan jargon kerukunan, persamaan, kebebasan, demokrasi, pluralisme, multikulturalisme dan seabreg tetek bengek isme-isme yang blas tidak islami sama sekali seperti sekarang ini.

Memang hidup jadi sangat riskan, repot, susah kalau menerapkan seperti Nabi Ibrahim yang menyatakan dengan tegas sikap permusuhan dan berlepas diri dengan kaumnya yang kafir sampai mereka beriman kepada Allah. Pasti banyak manusia mencibir, memusuhi bahkan oleh mereka yang KTP nya juga Islam tapi cari selamat, menggantungkan hidup pada orang kafir tidak merasa bergantung hidup kepada Allah. Padahal sikap Nabi Ibrahim yang tegas memusuhi kekafiran itu mendapat pujian, award, penghargaan bukan sekedar dari presiden, Negara maupun LSM apapun tapi dari Dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Sebaliknya sikap Nabi Ibrahim yang memohonkan ampun dosa bapaknya yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai akhlak yang baik, hormat dan bakti kepada orang tua justru dicela oleh Allah karena mencoba merobah apa yang telah ditetapkan Allah bahwa bapaknya maupun siapapun orang kafir tidak berhak mendapat ampunan Allah, hanya boleh didoakan mendapat hidayah-Nya sebatas masih hidup.

Muslimah itupun tidak hirau alias tidak mau tahu bahwa apresiasi kepada kekafiran adalah mendukung menyuburkan kekafiran itu. Setiap kali ada orang yang mengikuti, meniru, terinspirasi untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah seperti yang dilakukan oleh muslimah tersebut, maka sang muslimah akan mendapat bonus dosa akibat perannya sebagai pionir, teladan, pendorong kemaksiatan kepada Allah.

Gambar yang tampak humanis di atas memang mengesankan suasana damai, rukun, toleransi dan kebersamaan antar umat beragama. Sering disebut sebagai suasana yang kondusif yang tentunya sangat disukai oleh para tokoh dan pemimpin bangsa maupun kebanyakan orang. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua yang menyenangkan adalah baik bagi kita, sebaliknya tidak semua yang tidak menyenangkan itu buruk bagi kita. Cobalah simak Firman dari Yang Maha Benar di QS Al Baqarah (2):16 berikut :

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Gambar di atas lebih tepat diberi judul “SUASANA KONDUSIF MENYONGSONG MURKA ALLAH” karena terakumulasi sekian banyak dosa akibat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Islam al. :

Dosa Musyrik Menuhankan Yesus :

Mengucapkan “Selamat Natal” berarti memberi selamat / mengapresiasi atas keyakinan keliru Kristen telah lahirnya “TUHAN” Yesus. Padahal Yesus jelas-jelas bukan Tuhan. Tuhan itu Maha Hidup, Maha Perkasa mustahil mati disalib, mustahil ada yang kuasa mencabut nyawaNya. Meskipun Tuhan karena keMaha-KuasaanNYA mampu berbuat dan berkehendak apa saja termasuk reinkarnasi menjadi manusia tetapi kalau itu dilakukan akan menafikan keMaha-Sucian Tuhan ketika sebagai manusia Ia makan, minum, dst…. Kalau kelemahan manusiawi Yesus hanyalah terjadi pada sisi kemanusiaan Yesus bukan sisi keilahian Yesus maka hal itupun menafikan kekekalan Tuhan yang mewajibkan setiap saat setiap kondisi Tuhan tidak pernah lepas dari keilahianNya.

Dosa karena mengakui / ikut bergembira atas lahirnya Tuhan selain Allah SWT adalah dosa musyrik, dosa paling besar, menyebabkan terhapusnya seluruh amal shaleh yang telah kita kumpulkan sejak baligh hingga detik itu. Kalau sampai mati tidak bertobat maka dosanya tidak akan terampuni dan jahanamlah tempatnya kelak, haram bagi musyrikin masuk jannah.

Dosa Maksiat Sentuhan Lawan Jenis Bukan Mukhrim

Berjabat tangan dengan orang bukan muhrimnya berarti maksiat. Hadist Nabi mengatakan Seorang diantara kamu ditikam kepalanya dengan jarum besi lebih baik baginya daripada bersentuhan dengan laki-laki yang tidak halal (HR Tabrani ).
Dosa Bid’ah (Mengada-ada)

Ibadah yang jelas-jelas diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saja terkadang masih banyak terbengkelai, kenapa ikutan natal yang tidak ada tuntunannya, yang jelas jelas diluar Islam alias langkah setan yang tidak boleh diikuti, karena setan itu musuh yang nyata bagi orang beriman, lihat QS Al Baqarah (2):208. ingatlah hadist Nabi riwayat Muslim “Barangsiapa beramal tanpa ada perintah dariku maka tertolak.” Dan takutlah akan dimina pertanggung-jawaban oleh Allah sesuai bunyi QS Al Israa’ (17):36 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Dosa Menyerupai Kaum Kafir

Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan itu. Simak hadist ini : …Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad no 4868, 4869, 5409) Muslimah yang ikut/terlibat natalan berarti menyerupai kafir Kristen berarti termasuk kafir Kristen. Padahal bagi orang kafir tempatnya Neraka Jahanam dan termasuk seburuk-buruk makhluk (QS Al Bayyinah 98:6)

Natal adalah millah Kristen, millah Nasrani. Siapa yang nekad mengikuti millah mereka maka Allah berlepas diri untuk melindungi / menolongnya. Simak ayat berikut :

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah : 120)

Dosa Pionir/ Inspirator Dosa

Dosa-dosa muslimah tersebut bisa membengkak beranak pinak. Setiap kali siapapun melakukan perbuatan dosa karena meniru, terinspirasi, terdorong oleh perbuatan muslimah tersebut maka ia mendapat bonus dosa seperti penirunya, Semakin membudaya perbuatan tersebut semakin besuar bonus dosa dikumpulkannya.

NATAL, PLURALISME dan PEMURTADAN

Dari sudut pandang kaum pluralis tentulah hal ini sangat menggembirakan, menunjukkan tumbuh berkembangnya kebersamaan, kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Tidak ada ruginya umat Islam ikut natalan bahkan murtad meninggalkan agama Islam, berpindah menganut Kristen pun tidak perlu dirisaukan. Toh bukan hanya Islam yang baik dan benar. Agama-agama lain juga baik, juga benar. Semua agama meskipun dengan jalan dan cara yang berbeda-beda toh sama-sama menuju Tuhan yang sama dan juga sama-sama berhak masuk surga.

Sungguh betapa berbahayanya pandangan kaum pluralis. Demi perdamaian, kerukunan semu dan menyenangkan orang yang oleh Allah dicap kafir, penentang Allah dan Rasul-Nya, mereka membutakan mata, menulikan telinga, mematikan nuraninya untuk menerima ayat-ayat Allah yang dengan tegas gamblang menetapkan bahwa satu-satunya agama dari sisi Allah hanyalah Islam (QS 3:19). Satu-satunya agama yang telah sempurna dan diridloi Allah Maha Kuasa (QS 5:3) hanyalah Islam. Selain Islam tegas dikatakan sebagai langkah setan (QS 2:208), ditolak Allah dan diakherat sebagai golongan yang rugi alias penghuni neraka jahanam (QS 3:85).

Sudut pandang Islam yang menyandarkan segala sesuatu berdasar Al Qur’an dan As Sunah ternyata bertolak belakang 180 derajat dibanding sudut pandang kaum pluralis. Meskipun banyak dari mereka digelari cendekiawan muslim tetapi jauh dari nilai-nilai Islami. Mereka apriori mereferensi Al Qur’an dan As Sunah sebaliknya lebih bangga, lebih merasa hebat kalau menyandarkan segalanya kepada apa kata pakar barat yang terkesan lebih ilmiah padahal jauuuh dari hidayah Allah dan kafir alias musuh Allah, musuh Rasul dan musuh orang-orang mukmin.

Menurut Islam, keterlibatan muslim dalam natal hanyalah menimbulkan kemudlaratan luar biasa , Keterlibatan muslim dalam natal bisa dikatakan sebagai wujud kasih sayang , apresiasi dan dukungan terhadap kaum kafir dan kekafiran yang tentu sangat merugikan dan membahayakan akidah umat Islam. Lebih jauh bahkan bisa menjerumuskan mereka kedalam kemurtadan.

Sms berikut adalah tanggapan dari aktifis Gereja GBI Keluarga Allah Widuran Solo atas sms penulis yang memperingatkan agar umat Kristen tidak mengajak/ memprovokasi umat Islam ikutan natalan. Pembaca bisa menangkap sinyal yang kuat bahwa mereka memang mengakui adanya kristenisasi / pemurtadan lewat momentum natal.

… Anda itu ya lucu kalau tidak melibatkan or. Islam kaum muslimin dan muslimat, kristenisasi bisa macet to yo. Anda juga telat ngancamnya tak beri tahu pertengahan nov undangan dah siap, 25 nov dah disebar mulai 1 des kita tinggal follow up sj mngingatkan spy datang gtu ? anda bisa apa !

Lho natal ini sy bawa banyak anak kecil ke greja, ya anaknya ngikut ngaji tpa sih tapi pengin dapat hadiah natal. Jadi sy bilang sj kalau mau ke greja pasti dpt hadiah.…

tdk skedar nyuruh dtg aja tp kita jmput antar pulang, masih kita bri bngkisan smbako, uang dpt makan, or islam mesti mau dong?. Di greja nanti jg pujian, sukacita, saat pas untuk kristenisasi…

URGENSI MEMAHAMI KEBATILAN

Tidaklah berlebihan dan bukan pula usil mengurusi agama lain ketika penulis yang seorang muslim membeberkan aneka kebatilan natal yang mana natal telah dimanfaatkan oleh gereja sebagai momentum dan sarana kristenisasi bahkan pemurtadan terhadap umat Islam.

Memahami kebatilan apapun termasuk kebatilan natal, diperlukan agar umat Islam mampu mewaspadai dan terhindar dari dampak buruknya. Bagi umat Kristen yang ikut membaca tulisan ini, jangan buru-buru naik pitam tetapi cobalah renungkan benar tidak isinya. Jangan sampai maunya berbakti kepada Tuhan ternyata justru membuat murka Tuhan karena justru menyelisihi kehendak bahkan melanggar larangan Tuhan. Penulis bertanggung jawab dan siap mendiskusikan / berdialog dengan siapapun terkait tulisan ini.

Bagi setiap mukmin dan siapapun orang jujur pecinta kebenaran, mari sebarluaskan seluas-luasnya tulisan ini sebagai wujud tanggung jawab pembentengan akidah yang sangat relevan dengan tugas mukmin sejati untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar (QS 3:110) , menjaga diri dan keluarga dari neraka (QS 66:6), tidak mencampuradukkan yang hak dengan yang batil (QS 2:42). [muslimdaily.net]

Lagu Qasidah Natal Jangan Disangka Nasyid Islam

Jumat, 17 Desember 2010

0 komentar
JAKARTA (voa-islam.com) - Metro TV akan menayangkan perayaan Natal yang salah satu lagunya berbahasa Arab. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta panitia lebih berhati-hati. Lagu Natal berbahasa Arab bisa disalahpahami.

"Kalau di Indonesia ada kidung berbahasa Arab, nanti disangka qasidah oleh masyarakat Islam. Apalagi di pedesaan," kata Ketua MUI Amidhan melalui telepon, Kamis (24/12/2009).

Menurut Amidhan, umat Nasrani di Timur Tengah tentu saja berbahasa Arab saat misa di gereja. Mereka yang tidak memahami bahasa Arab tidak bisa membedakannya dengan khutbah di masjid.

"Nah, kalau memang ingin membumikan bahasanya, kenapa tidak memakai bahasa yang ada di Indonesia. Misalnya bahasa Madura, Jawa atau Sunda," papar Amidhan.

Amidhan menjelaskan bahasa Arab bukan monopoli umat Islam. Namun di Indonesia bahasa Arab banyak digunakan dalam istilah-istilah yang diasosiasikan dengan Islam.

Dia menjelaskan pernah ada protes masyarakat soal Madrasah Alkitab, tapi maksudnya Al Kitab itu Injil. Padahal madrasah itu identik dengan sekolah Islam.

"Jadi yang mendesain acara harus hati-hati. Walaupun cuma lagu, itu bisa memancing. Panitia harus menjelaskan alasan mereka menampilkan lagu berbahasa Arab dalam acara itu," pungkas Amidhan.

Rencananya, Metro TV akan merelay acara perayaan Natal yang sudah digelar di Istora Senayan. Penayangan ini rencananya pada Jumat, 25 Desember 2009 pukul 15.05 WIB. Akan ada satu lagu dari trio penyanyi Palestina yaitu Jingle Bells berbahasa Arab.

MUI Pamekasan Khawatirkan Natalan Berbahasa Arab

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan mengkhawatirkan rencana perayaan Natal yang akan memakai bahasa Arab. Acara yang akan ditayangkan salah satu stasiun TV swasta ini dinilai bisa mendatangkan salah paham.

"Saya khawatir jika bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengantar Natalan akan terjadi ekses yang tidak diinginkan bersama," jelas Sekretaris MUI Pamekasan, Alwi Beq, di Pamekasan, Kamis (24/12/2009).

Menurut Alwi, bahasa Arab memang bukan monopoli umat Islam. Umat Nasrani di Libanon, Suriah, Iran dan Irak tidak dipermasalahkan berbahasa Arab dalam khotbah misa Natal.

Namun, di Indonesia, hal ini menjadi berbeda. Umat muslim Indonesia masih menghormati bahasa Arab sebagai milik umat Islam. Meski demikian, khotbah Jumat pun dilakukan dengan bahasa Indonesia kecuali pada pembukaan dan doa.

"Jadi, tidaklah jelek jika misa Natal juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar khotbah. Sebagai bentuk penghormatan kepada bahasa nasional," saran Alwi.

Itu sebabnya, Alwi bertanya-tanya apakah ada maksud khusus dari gereja yang akan menggunakan bahasa Arab dalam acara Natal. Apalagi acara ini akan disiarkan televisi nasional.

"Sebaiknya Menteri Agama memberikan masukan terkait acara Natal berbahasa Arab tersebut. Ini semua untuk terciptanya kerukunan kehidupan beragama di negeri kita ini," pungkas Alwi.

Empat Kekeliruan Menyambut Muharram

Jumat, 10 Desember 2010

0 komentar
Kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw di bulan Muharram. Apa hukum perayaan bulan Muharam?


***

Assalamu’alaikum. Ustad, biasanya setiap Muharram di berbagai tempat diperingati perayaan. Ada yang mengadakan pengajian atau menggelar serangkaian acara. Bahkan di beberapa tempat, kaum Syiah menggelar peringatan peristiwa Karbala.

Sebebarnya, bagaimana sikap Islam dalam menyambut bulan Muharram in?

Sekian, terima kasih. [Ahmad-Surabaya]

***

Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Bulan Muharam adalah bulan yang muliah. Namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya. Bahkan lebih banyak salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).

Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.

Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra, bahwasanya ia berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “( HR Muslim )

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya : Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah saw belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

عن أبي هريرة t قال : قال رسول الله r : ( أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم ، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة صلاةُ الليل )

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim)

Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.”(HR Bukhari dan Muslim)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : "Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).

Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyura’, dan berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat Ibnu Abbas lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“

Apa keutamaan puasa pada hari Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas pada hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang telah dikerjakan selama satu tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Qatadah ra, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa ‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )

Dosa-dosa yang dihapus disini adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim harus bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.

Adapun hikmah puasa Asyura’ adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan pengikutnya serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Ibnu Abbas di atas.

Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram

Di dalam menghadapi Tahun Baru Hijriyah, sebagian kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut bisa dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah :

1. Menjadikan tanggal 1 bulan Muharram sebagai hari raya kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan cara saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya: Dua hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai )

Begitu juga, merayakan tahun baru adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari Asyura.”

2. Menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang lain melukai badan mereka dengan rantai.

3. Menjadikan malam 1 Muharram untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.[www.arrahmah.com]

Fatwa Ulama tentang Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah

Rabu, 08 Desember 2010

0 komentar
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad kepada keluarganya, para sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:

Para pembaca yang dirahmati Allah,

Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 1431 Hijriyah dan akan memasuki tahun baru hijriyah 1432, sebagian besar kaum muslimin telah mempersiapkan perayaan untuk tahun baru Islam tersebut, di antaranya dengan bertukar ucapan selamat satu sama lain maka apa kedudukan ucapan selamat tahun baru hijriyah dari sisi syar’i?

Di bawah ini kami mengutip beberapa fatwa ulama besar dalam seputar tahun baru:

1. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz rahimahullah

Syaikh Bin Baz pernah ditanya:

Kami pada permulaan tahun baru hijriyah, dan sebagian orang saling bertukar ucapan selamat tahun baru hijriyah, mereka mengucapkan: (setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan), maka apa hukum syar’i terkait ucapan selamat ini?

Syaikh Bin Baz menjawab sbb:

Ucapan selamat tahun baru hijriyah kami tidak mengetahui dasarnya dari para Salafus Shalih, dan saya tidak mengetahui satupun dalil dari sunnah maupun Kitabullah yang menunjukkan pensyariatannya, tetapi siapa saja yang memulaimu dengan ucapan itu maka tidak mengapa kamu menjawabnya seperti itu, jika dia mengatakan: setiap tahun semoga anda dalam kebaikan maka tidak mengapa kamu menjawabnya semoga anda seperti itu kami memohon kepada Allah bagi kami dan bagimu setiap kebaikan atau semacamnya, adapun memulainya maka saya tidak mengetahui dasarnya.

2. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan 1:

Syaikh Utsaimin pernah ditanya mengenai ucapan selamat tahun baru hijriyah dengan pertanyaan sbb:

Syaikh yang mulia, apa hukum mengucapkan selamat tahun baru hijriyah? Dan apa kewajiban kita kepada orang yang mengucapkan selamat tahun baru hijriyah kepada kita?

Syaikh Utsaimin menjawab sbb:

Jika seseorang mengucapkan selamat kepadamu maka jawablah, tapi jangan kamu memulainya. Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini. Seandainya seseorang mengucapkan mengucapkan selamat tahun baru kepadamu, maka jawablah: semoga Allah menyampaikan selamat kebaikan untukmu dan menjadikannya tahun kebaikan dan keberkahan.

Tetapi ingat, jangan kamu memulainya karena saya tidak mengetahui adanya riwayat dari para Salafus Shalih bahwa mereka dahulu mengucapkan selamat tahun baru hijriyah. Bahkan para Salaf belum menjadikan bulan Muharram sebagai awal tahun baru kecuali pada masa khilafah Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu. (dikutip dari pertemuan bulanan ke-44 di akhir tahun 1417 H).

Pertanyaan 2:

Syaikh Utsaimin juga pernah ditanya: Syaikh yang mulia, apa pendapat anda mengenai tukar menukar ucapan selamat pada awal tahun baru hijriyah?

Maka Syaikh Utsaimin menjawab sbb:

Aku berpendapat bahwa memulai ucapan selamat pada awal tahun baru hijriyah tidak mengapa, namun tidak disyariatkan. Artinya, kami tidak menyatakan sunnahnya saling menyampaikan ucapan selamat tahun baru hijriyah.

Tetapi jika mereka melakukannya tidak mengapa, namun sepatutnya juga apabila dia mengucapkan selamat tahun baru dengan memohon kepada Allah supaya menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan keberkahan, lalu orang lain menjawabnya. Inilah pendapat kami dalam masalah ini yang merupakan perkara kebiasaan dan bukan termasuk perkara ibadah.

(Disampaikan pada pertemuan terbuka ke-93 hari Kamis, 25 bulan Dzulhijjah tahun 1415H).

Pertanyaan 3:

Pada kesempatan lainnya, beliau juga pernah ditanya: Apakah boleh mengucapkan selamat awal tahun baru?

Maka beliau menjawab: Ucapan selamat atas kedatangan tahun baru hijriyah tidak ada dasarnya dari perbuatan para Salafus Shalih. Maka kamu jangan memulainya, tetapi jika seseorang mengucapkan selamat kepadamu jawablah, karena ini sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah manusia, meskipun fenomena ini sekarang berkurang, karena sebagian orang sudah memahaminya, alhamdulillah. Padahal sebelumnya mereka saling bertukar kartu ucapan selamat tahun baru hijriyah.

Pertanyaan 4:

Pertanyaan lainnya kepada Syaikh Utsaimin: Apa bunyi ucapan yang saling disampaikan manusia?

Beliau menjawab: yaitu mereka mengucapkan selamat atas datannya tahun baru, dan kami memohon kepada Allah mengampuni yang telah berlalu pada tahun kemarin, dan supaya memberikan pertolongan kepadamu untuk menghadapi masa depan atau semacam itu.

Pertanyaan 5:

Syaikh Utsaimin ditanya: Apakah diucapkan “Setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan?”

Beliau menjawab: Tidak, setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan tidak diucapkan dalam Idul Adha maupun Idul Fitri atau di tahun baru.

(Disampaikan pada pertemuan terbuka ke-202 pada hari Kamis, 6 Muharram tahun 1420H).

3. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah

Beliau pernah ditanya: Syaikh yang mulia semoga Allah memberikan anda taufik. Kebanyakan manusia saling mengucapan selamat tahun baru hijriyah. Apa hukum ucapan selamat tahun baru hijriyah, misalnya: ‘Semoga menjadi tahun bahagia,’ atau ucapan: ‘Semoga kalian setiap tahun dalam kebaikan.’ Apakah ucapan ini disyariatkan?

Syaikh menjawab sbb:

”Ini adalah bid’ah. Ini bid’ah dan menyerupai ucapan selamat orang-orang Kristen dengan tahun baru Masehi, dan ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan para Salaf. Selain itu, tahun baru hijriyah adalah istilah para shahabat radhiyallahu anhum untuk penanggalan muamalat saja. Mereka tidak menganggapnya sebagai hari raya dan mereka mengucapkan selamat atasnya karena ini tidak ada dasarnya. Para shahabat menjadikan tahun hijriyah untuk penanggalan muamalat dan mengatur muamalat saja”.

4. Syaikh Abdul Karim Al-Khidhir

Doa kepada sesama muslim dengan doa umum yang lafalnya tidak diyakini sebagai ibadah dalam beberapa peringatan seperti hari-hari raya tidak mengapa, apalagi apabila maksud dari ucapan selamat ini untuk menumbuhkan kasih sayang, menampakkan kegembiraan dan keceriaan pada wajah muslim lain.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak memulai ucapan selamat, tapi jika seseorang memulai dengan ucapan selamat maka aku suka menjawabnya karena menjawab ucapan selamat itu wajib. Adapun memulai ucapan selamat tidak ada sunnah yang diperintahkan dan juga bukan termasuk perkara yang dilarang.

KESIMPULAN:

1. Dari beberapa fatwa di atas dapat dipahami bahwa sebagian ulama besar membolehkan menjawab ucapan selamat saja tidak untuk memulainya, namun tidak menganggapnya perkara bid’ah yang besar karena itu adalah adat kebiasaan, bukan diyakini sebagai ibadah yang disyariatkan.

2. Sebaiknya kita menjelaskan kepada umat bahwa hal itu tidak ada dasarnya sehingga mereka tidak berlebih-lebihan dalam ucapan selamat tahun baru hijriyah. Karena hal itu dikhawatirkan bisa terjatuh dalam perkara bid’ah dan menyerupai kaum Nasrani sebagaimana fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah.

3. Kita tidak disyariatkan untuk merayakan tahun baru hijriyah seperti perayaan hari raya (ied), karena perayaan sebagai bentuk ibadah dan ibadah sifatnya tauqifiyah. Wallahu a’lam bis-shawab. [ar/voa-islam.com]

Keajaiban Sedekah

Senin, 22 November 2010

2 komentar
Sedekah bisa mendatangkan ampunan Allah, menghapus dosa dan menutup kesalahan dan keburukan. Sedekah bisa mendatangkan ridha Allah, dan sedekah bisa mendatangkan kasih sayang dan bantuan Allah. Wuh, inilah sekian fadilah sedekah yang ditawarkan Allah bagi para pelakunya.

Sebagaimana kita ketahui, hidup kita jadi susah, lantaran memang kita banyak betul dosanya. Dosa-dosa kita mengakibatkan kehidupan kita menjadi tertutup dari Kasih Sayangnya Allah. Kesalahan-kesalahan yang kita buat, baik terhadap Allah, maupun terhadap manusia, membuat kita terperangkap dalam lautan kesusahan yang sejatinya kita buat sendiri. Hidup kita pun banyak masalah. Lalu Allah datang menawarkan bantuan-Nya, menawarkan kasih sayang-Nya, menawarkan ridha-Nya terhadap ikhtiar kita, dan menawarkan ampunan-Nya. Tapi kepada siapa yang Allah bisa berikan ini semua? Kepada siapa yang mau bersedekah. Kepada yang mau membantu orang lain. kepada yang mau peduli dan berbagi.

Kita memang susah. Tapi pasti ada yang lebih susah. Kita memang sulit, tapi pasti ada yang lebih sulit. Kita memang sedih, tapi barangkali ada yang lebih sedih. Terhadap mereka inilah Allah minta kita memperhatikan jika ingin diperhatikan.

Insya Allah, hari demi hari, saya akan menulis tentang sedekah, dan segala apa yang terkait dengan sedekah. Di website ini. Saudara yang melihat, Saudara yang membaca, Saudara yang bisa memetik hikmahnya, saya mempersilahkan membagi kepada sebanyak-banyaknya keluarga, kawan dan sahabat Saudara.

Barangkali ada kebaikan bersama yang bisa diambil. Di website ini pula, Saudara akan bisa mengambil petikan hadits hari per hari dan ayat hari per hari, yang berkaitan dengan sedekah dan amaliyah terkait, dengan pembahasan singkatnya.

Di pembahasan-pembahasan tentang sedekah, saya akan banyak mendorong diri saya dan saudara, untuk melakukan sedekah, dengan mengemukakan fadilah-fadilah/keutamaannya. Insya Allah pembahasan akan sampai kepada Ihsan, Mahabbah, Ikhlas dan Ridha Allah. Apa yang tertulis, adalah untuk memotivasi supaya tumbuh keringanan dalam berbagi, kemauan dalam bersedekah. Sebab biar bagaimanapun, manusia adalah pedagang. Ia perlu dimotivasi untuk melakukan sebuah amal. Kepada Allah juga semuanya berpulang.

Akhirnya, mintalah doa kepada Allah, agar Allah terus menerus membukakan pintu ilmu, hikmah, taufiq dan hidayah-Nya hingga sampai kepada derajat "mukhlishiina lahuddien", derajat orang-orang yang mengikhlaskan diri kepada Allah.


Matematika Dasar Sedekah

Apa yang kita lihat dari matematika di bawah ini?

10 – 1 = 19

Pertambahan ya? Bukan pengurangan?
Kenapa matematikanya begitu?
Matematika pengurangan darimana?
Koq ketika dikurangi, hasilnya malah lebih besar?

Kenapa bukan 10-1 = 9?

Inilah kiranya matematika sedekah. Dimana ketika kita memberi dari apa yang kita punya, Allah justru akan mengembalikan lebih banyak lagi. Matematika sedekah di atas, matematika sederhana yang diambil dari QS. 6: 160, dimana Allah menjanjikan balasan 10x lipat bagi mereka yang mau berbuat baik.

Jadi, ketika kita punya 10, lalu kita sedekahkan 1 di antara yang sepuluh itu, maka hasil akhirnya, bukan 9. Melainkan 19. Sebab yang satu yang kita keluarkan, dikembalikan Allah sepuluh kali lipat.

Hasil akhir, atau jumlah akhir, bagi mereka yang mau bersedekah, tentu akan lebih banyak lagi, tergantung Kehendak Allah. Sebab Allah juga menjanjikan balasan berkali-kali lipat lebih dari sekedar sepuluh kali lipat. Dalam QS. 2: 261, Allah menjanjikan 700x lipat.

Tinggallah kita yang kemudian membuka mata, bahwa pengembalian Allah itu bentuknya apa? Bukalah mata hati, dan kembangkan ke-husnudzdzanan, atau positif thinking ke Allah. Bahwa Allah pasti membalas dengan balasan yang pas buat kita.


Memberi Lebih Banyak, Menuai Lebih Banyak

Kita sudah belajar matematika dasar sedekah, dimana setiap kita bersedekah Allah menjanjikan minimal pengembalian sepuluh kali lipat (walaupun ada di ayat lain yg Allah menyatakan akan membayar 2x lipat). Atas dasar ini pula, kita coba bermain-main dengan matematika sedekah yang mengagumkan. Bahwa semakin banyak kita bersedekah, ternyata betul Allah akan semakin banyak juga memberikan gantinya, memberikan pengambalian dari-Nya.

Coba lihat ilustrasi matematika berikut ini:

Pada pembahasan yang lalu, kita belajar:

10 - 1 = 19

Maka, ketemulah ilustrasi matematika ini:

10 - 2= 28
10 - 3= 37
10 - 4= 46
10 - 5= 55
10 - 6= 64
10 - 7= 73
10 - 8= 82
10 - 9= 91
10 - 10= 100

Menarik bukan? Lihat hasil akhirnya? Semakin banyak dan semakin banyak. Sekali lagi, semakin banyak bersedekah, semakin banyak penggantian dari Allah.

Mudah-mudahan Allah senantiasa memudahkan kita untuk bersedekah, meringankan langkah untuk bersedekah, dan membuat balasan Allah tidak terhalang sebab dosa dan kesalahan kita.

Sedekah bisa mendatangkan ampunan Allah, menghapus dosa dan menutup kesalahan dan keburukan. Sedekah bisa mendatangkan ridha Allah, dan sedekah bisa mendatangkan kasih sayang dan bantuan Allah. Wuh, inilah sekian fadilah sedekah yang ditawarkan Allah bagi para pelakunya.

Sebagaimana kita ketahui, hidup kita jadi susah, lantaran memang kita banyak betul dosanya. Dosa-dosa kita mengakibatkan kehidupan kita menjadi tertutup dari Kasih Sayangnya Allah. Kesalahan-kesalahan yang kita buat, baik terhadap Allah, maupun terhadap manusia, membuat kita terperangkap dalam lautan kesusahan yang sejatinya kita buat sendiri. Hidup kita pun banyak masalah. Lalu Allah datang menawarkan bantuan-Nya, menawarkan kasih sayang-Nya, menawarkan ridha-Nya terhadap ikhtiar kita, dan menawarkan ampunan-Nya. Tapi kepada siapa yang Allah bisa berikan ini semua? Kepada siapa yang mau bersedekah. Kepada yang mau membantu orang lain. kepada yang mau peduli dan berbagi.

Kita memang susah. Tapi pasti ada yang lebih susah. Kita memang sulit, tapi pasti ada yang lebih sulit. Kita memang sedih, tapi barangkali ada yang lebih sedih. Terhadap mereka inilah Allah minta kita memperhatikan jika ingin diperhatikan.

Insya Allah, hari demi hari, saya akan menulis tentang sedekah, dan segala apa yang terkait dengan sedekah. Di website ini. Saudara yang melihat, Saudara yang membaca, Saudara yang bisa memetik hikmahnya, saya mempersilahkan membagi kepada sebanyak-banyaknya keluarga, kawan dan sahabat Saudara.

Barangkali ada kebaikan bersama yang bisa diambil. Di website ini pula, Saudara akan bisa mengambil petikan hadits hari per hari dan ayat hari per hari, yang berkaitan dengan sedekah dan amaliyah terkait, dengan pembahasan singkatnya.

Di pembahasan-pembahasan tentang sedekah, saya akan banyak mendorong diri saya dan saudara, untuk melakukan sedekah, dengan mengemukakan fadilah-fadilah/keutamaannya. Insya Allah pembahasan akan sampai kepada Ihsan, Mahabbah, Ikhlas dan Ridha Allah. Apa yang tertulis, adalah untuk memotivasi supaya tumbuh keringanan dalam berbagi, kemauan dalam bersedekah. Sebab biar bagaimanapun, manusia adalah pedagang. Ia perlu dimotivasi untuk melakukan sebuah amal.

Kepada Allah juga semuanya berpulang.
Akhirnya, mintalah doa kepada Allah, agar Allah terus menerus membukakan pintu ilmu, hikmah, taufiq dan hidayah-Nya hingga sampai kepada derajat "mukhlishiina lahuddien", derajat orang-orang yang mengikhlaskan diri kepada Allah.[www.wisatahati.com]

Panduan Qurban (Udhiyyah)

Minggu, 14 November 2010

0 komentar
Oleh : Ustadz Budi Prasetyo

Staff Pengajar Ponpes As Salam Pabelan, Surakarta

Idul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah swt bagi ummat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini diterangkan dalam hadits Anas ra, beliau berkata:

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang di Madinah, mereka di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka (beliau) bersabda: “Hari apakah dua hari ini?” mereka menjawab, “Kami biasa merayakannya dengan bersuka ria di masa jahiliyyah”, kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari Iedul Qurban dan hari Iedul Fitri.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai).

Hari Raya qurban, termasuk syi’ar umat Islam, maka hendaknya kita menjaganya dan menghormatinya. Cara menghormati hari raya ini adalah dengan menghidupkan sunnahnya, dan menjauhkan dari hal-hal yang bid’ah.

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ

Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (Al Hajj 32).

MAKNA QURBAN

Qurban dalam bahasa Arab berasal dari kata qa-ru-ba ( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah qurban yang di dalamnya terdapat penyembelihan hewan qurban adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibadah qurban disebut juga “udlhiyah” ( أُضْحِيَّة ) artinya penyembelihan binatang sebagai qurban.

DASAR SYARI’AT QURBAN

Tentang penyariatan ibadah qurban ini ditetapkan berdaasarkan al-Qur’an maupun hadis. al-Qur’an menyinggung soal Qurban di dalam surah al-Kautsar

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah”. (al-Kautsar:2)
Kata wanhar ( وَانْحَرْ ) maksudnya adalah menembelih binatang korban.
Sedangkan hadis yang menyebutkan persoalan qurban sangat banyak, di antaranya adalah;

ضحّى النّبيّ صلى الله عليه وسلم بكبشين أملحين أقرنين ، ذبحهما بيده ، وسمّى وكبّر ، ووضع رجله على صفاحهما .

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).
Korban ini telah disyari‘atkan pada tahun kedua hijriyah, bersamaan dengan disyari’atkan shlat Dua hari raya dan zakat harta.

KEUTAMAAN QURBAN

Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist A’isyah, Rasulullah s.a.w. bersabda

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

“Tidak ada amal yang dilakukan oleh anak Adam lebih disukai oleh Allah di hari korban selain dari mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan datang menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut akan menetes di suatu tempat (yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka sempurnakanlah korban itu ” (HR at-Tirmizi, dengan sanad dla’if).

HUKUM QURBAN

Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka yang mampu. Tetapi Abu Hanifah (seorang ulama’ Tabi’in) menyatakan hukumnya wajib. Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” Sementara di dalam mazhab Syafi’i muncul pendapat bahwa qurban hukumnya sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur hidup dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya.
Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah hadits Ummu Salamah:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا

“Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” (HR. Muslim)
Kata “Dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban”, menurut Imam Syafi’i, adalah menunjukkan qurban tidak wajib. Sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu.

Sedangkan dalil wajibnya qurban menurut madzhab Hanafi adalah hadist Abu Haurairah yang menyebutkan

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).

Hadis ini oleh Imam Hanafi difahami sebagai suatu perintah yang sangat kuat karena diikurti dengan suatu ancaman, sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat pertama lebih kuat, karena adanya dorongan yang kuat belum tentu bermakna sebagai kewajiban. Apalagi dengan adanya hadis Muslim dari Ummu Salamah yang menyebutkan bentuk pilihan, boleh memilih berkorban dan boleh tidak berkorban. Dengan demikian ibadah qurban disunnahkan kepada yang mampu.
Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha dan tiga hari tasyriq maka berarti ia mampu.

KAPAN MENJADI WAJIB

Meskipun hukum asalnya sunnah mu’akkadah, namun qurban bisa menjadi wajib dalam keadaan dua hal;
1. Jika telah bernadzar untuk melakukan korban, sebagaimana hadis;

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)

Karena korban merupakan sebuah amal yang baik, dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, maka para ulama’ sepakat apabila ada seorang muslim bernadzar untuk berkorban, maka wajib baginya untuk berkorban, baik ia dalam keadaan kaya atau miskin.

2. Jika telah berniat untuk melakukan korban. Menurut Imam Malik, seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk korban makaia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.

BINATANG QURBAN

Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah binatang ternak (an’am), seperti onta, sapi atau kerbau dan kambing atau domba. Boleh berkorban dengan binatang tersebut, baik jantan atau betina. Tetapi berkorban dengan binatang yang boleh dimakan selain jenis binatang ternak (an’am) seperti burung dan kuda para ulama’ sepakat tidak boleh. Dalil ketentuan binatang itu adalah firman Allah

ولكلّ أمّةٍ جعلنا منسكاً ليذكروا اسم اللّه على ما رزقهم من بهيمة الأنعام

(al-Hajj:34)

Adapun pelaksanaan korban, binatang tersebut ditentukan;

عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

“Dari Jabir, berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah (HR. Muslim dan Abu Daud).

Yang dimaksud dengan Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau domba yang telah cukup umur. Umur kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Menurut Ibnu at-Tin, yang dinamakan musinnah adalah ketika sudah berganti gigi. Sedangkan jadza’ah yaitu kambing atau domba yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi ada yang berpendapat, kambing usia 6 bulan sudah masuk jadza’ah.

BINATANG KORBAN YANG PALING UTAMA

Sejauh ini tidak ada penjelasan khusus dari Rasulullah tentang binatang yang paling utama untuk dijadikan qurban. Dengan mengambil pelajaran dari keutamaan bersegera menghadiri shalat Jum’at, bisa disimpulkan bahwa binatang yang paling utama menjadi korban adalah adalah onta, setelah itu sapi, setelah itu baru kambing atau domba.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian berangkat (shalat Jum’at) pada urutan pertama maka seolah-olah ia berkurban dengan seekor onta. Dan orang yang berangkat pada barisan kedua, maka seolah-olah ia berkorban dengan seekor sapi, dan barangsiapa berangkat pada urutan ketiga maka seolah-olah ia berkorban dengan seekor domba. Barangsiapa berangkat pada urutan keempat maka selah-olah ia berkorban dengan ayam, dan yang berangkat pada urutan kelima seolah-olah ia berkorban dengan telur. Jika Imam sudah keluar maka malaikat akan datang untuk mendengarkan dzikir (khutbah)” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Adapun bagi yang berkorban dengan seekor kambing atau domba, yang paling utama adalah seperti yang pernah dijadikan korban oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ فَضَحَّى بِهِ

“Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan menyembelih domba yang bertanduk baik, dan sekitar kaki, perut dan matanya berwarna hitam. Kemudian didatangkan kepada beliau, lalu disembelih.” (HR. Abu Daud).

HEWAN YANG DILARANG DIJADIKAN QURBAN

Ada beberapa cacat pada binatang yang nenyebabkan ia tidak boleh dijadikan binatang korban. Larangan itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي

Ada empat hal yang tidak boleh dalam berkorban, 1) buta sebelah mata, yang tampak jelas kebutaannya 2) sakit yang jelas sakitnya, 3) pincang yang nyata-nyata pincangnya, dan 4) kurus tidak berlemak (HR Abu Dawud)

Selain keempat tersebut Rasulullah juga melarang berkorban dengan binatang yang tanduknya pecah, atau telinganya hilang sebagian.

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ

Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang berkorban dengan binatang yang pecah tanduknya dan telinganya(at-Tirmidzi, Ibnu majah dan Ahmad)

Sa’id bin Musayyib menuturkan, bahwa binatang yang kehilangan setengah atau lebih tanduk atau telinganya maka tidak selayaknya untuk dijadikan korban. Tetapi para ulama’ menjelaskan bahwa kalau ia kehilangan sebagain telinga, tanduk atau ekornya dan tidak sampai setengahnya dan bukan karena kesengajaan maka masih boleh digunakan untuk korban. Demikian juga binatang yang terkena sedikit penyakit kulit, boleh digunakan untuk berkorban.

BINATANG YANG DIKEBIRI

Sejauh ini tidak ada larangan berkorban dengan binatang yang dikebiri. Meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan korban. Bahkan al-Haitsami di dalam kitab Majma’ az-Zawaid menyebutkan adanya beberapa ulama’ yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan qurban dengan binatang yang dikebiri.

PATUNGAN KORBAN

Satu ekor kambing atau domba bisa diniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya meskipun jumlah keluarganya banyak.

قَال عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى

“Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam , beliau menjawab: jika seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Sedangkan untuk seekor sapi bisa diniatkan untuk 7 orang, sebagaimana hadis berikut;

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Dari Jabin, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor onta yang gemuk untuk 7 orang.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Dan seekor onta, menurut madzhab Syafi’i, Hanafi, dan mayoritas ulama’ bisa untuk 7 orang. Tetapi menurut Ishaq bin Rahawiyah dan Ibnu Khuzaimah, bisa untuk 10 orang. Alasan Ishaq adalah hadis dari Ibnu Abbas berikut;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ

“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta.” (HR At-Tirmidzi).
Demikian ketentuan rombongan dalam berkorban. Tetapi sekarang ini muncul gejala baru, melakukan iuran oleh orang banyak, untuk membeli seekor binatang korban, lalu binatang itu disembelih dengan nama korban. Korban semacam itu tidak sah.

WAKTU PENYEBELIHAN

Permulaan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban adalah setelah selesai shalat Ied Adha. Hal ini didasarkan kepada hadis;

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا

Dari Barra bin Azib ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah, beliau bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita mulai pada hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. (HR al-Bukhari)

Di dalam riwayat Muslim disebutkan adanya tambahan penjelasan,

وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ

Dan barang siapa yang telah menyembelih (sebelum shalat), maka sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi keluarganya, bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (HR. Muslim).

Diperbolehkan untuk menunda penyembelihan hewan kurban, pada hari kedua dan ketiga setelah hari Ied. Dan batas akhir penyembelihan adalah tenggelamnya matahari pada hari tasyriq yang terakhir, sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Jubair bin Muth’im bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Setiap hari tasyriq ada sembelihan.” (HR. Ahmad).

TEMPAT MENYEMBELIH

Dalam rangka menampakkan syiar Islam dan kaum muslimin, disunnahkan menyembelih di lapangan tempat shalat Ied, sebagaimana hadis dari Ibnu Umar.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْبَحُ وَيَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى

“bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam : menyembelih di tempat shalat Ied.” (HR. Bukhari).

LARANGAN MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU

Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Ied.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).

Larangan memotong kuku dan rambut ini berlaku dengan segala macam caranya, baik dengan gunting atau yang lainnya. Demikian juga dalam hal larangan memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut, mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Larangan di dalam hadis ini difahami oleh para ulama’ sebagai haram. Sebab setiap larangan berfungsi untuk mengharamkan, kecuali apabila ada keterangan lain yang menjelaskan ketidakharamannya. Tetapi kalau ada yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa.”
Tetapi para ulama’ berbeda pendapat tentang makna larangan ini. Imam Malik dan asy-Syafi’i memandang larangan ini bermakna makruh. Tetapi Imam Ahmad bin Hanbal memandang sebagai haram. Dan Imam Abu hanifah berpendapat tidak apa-apa. Pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafi’i dan Malik karena ada riwayat.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ يُقَلِّدُهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا مَعَ أَبِي فَلَا يَدَعُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا أَحَلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ حَتَّى يَنْحَرَ الْهَدْيَ

Dari Aisyah, ia berkata; saya pernah menganyam kalung hewan kurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kedua tanganku, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengalunginya dengan tangannya dan mengirimnya bersama dengan ayahku, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan sesuatupun yang telah Allah ‘azza wajalla halalkan hingga beliau menyembelih hewan kurban. (HR an-Nasa’i)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan kebiasaan memotong kuku dan rambut. Tetapi bukan berarti kemudian memotong rambut tidak apa-apa, adanya anjuran pada hadits Ummu Salamah berarti bahwa meninggalkan pemotongan rambut dan kuku itu adalah sunnah, dan memotongnya adalah makruh.

CARA MENYEMBELIH

Dalam menyembelih binatang diharuskan untuk meminimalisir rasa sakit yang diderita oleh binatang. Di antara cara yang bisa meminimalisasi rasa sakit adalah dengan pisau yang tajam. Sebagaimana disebukan di dalam hadis

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu . Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya. (Riwayat Muslim)

Sebelum menyembelih terlebih dahulu membaca do’a sambil membaringkan sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya, dan menahan lehernya dengan tangan kiri.
Bacaan yang disepakati oleh para ulama’ adalah basmalah dan takbir. Tetapi di antara para ulama’ tidak ada kesepakatan tentang do’a lain yang dibaca menyertai basmalah dan takbir. Hanafiyah menganjurkan untuk juga membaca do’a inni wajjahtu wajhiya…, allahumma hadza ‘an fulan (nama yang berkorban), atau juga ucapan alahumma minka wa laka (ya Allah, binatang ini adalah dariMu dan untukMu). Dasar pendapatnya adalah hadits-hadts berikut;

أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

“Dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyembelih dua ekor dombanya yang bagus dan bertanduk. Anas berkata, aku melihat beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri dan aku melihat beliau meletakkan kakinya di samping lehernya dan mengucapkan basmallah dan takbir.” (HR. Muslim).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Dari jabir bin Abdullah, ia berkata, “Aku mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Idul Adha di tanah lapang, setelah selesai berkhutbah beliau turun dari mimbarnya dan mendatangi dombanya, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri seraya berkata “Bismillah Wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak menyembelih.” (HR. Abu Dawud)

Di dalam riwayat lain dikatakan

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ذَبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الذَّبْحِ كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مُوجَأَيْنِ فَلَمَّا وَجَّهَهُمَا قَالَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ وَعَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ بِاسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Kurban menyembelih dua domba yang bertanduk dan berwarna abu-abu yang terkebiri. Kemudian tatkala beliau telah menghadapkan keduanya beliau mengucapkan: (Sesungguhnya aku telah menghadapkan wajahku kepada Dzat yang telah menciptakan langit dan bumi di atas agama Ibrahim dengan lurus, dan aku bukan termsuk orang-orang yang berbuat syirik. Sesungguhnya shalatku, dan sembelihanku serta hidup dan matiku adalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagiNya, dengan itu aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, ini berasal dariMu dan untukMu, dari Muhammad dan ummatnya. Dengan Nama Allah, dan Allah Maha Besar). (HR Abu Dawud)

Imam Malik tidak menganjurkan untuk mengucapkan minka wa laka. Dan Imam Ahmad bin hanbal hanya menganjurkan untuk membaca basmalah dan takbir saja. Tetapi kalau ditambahkan kata, hadza minni atau min fulan, allahumma taqabbal, boleh saja.
Selain itu, berdasarkan hadits-hadis di atas, orang yang berkorban disunnahkan untuk memotong sendiri hewan kurbannya, sebab penyembelihan ini merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi kalau tidak bisa menyembelih sendiri boleh mewakilkan kepada orang lain. Meskipun demikian dianjurkan baginya untuk menyaksikan penyembelihannya.

MEMBAGIKAN DAGING KURBAN

Bagi yang berkorban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian dari dagingnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari Muslim).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا ضَحَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian berkurban, maka makanlah dari binatang kurbannya.”

Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari kurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging kurban. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari yang berkurban.:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagi dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami memberinya dari harta kami” (HR. Bukhari Muslim).

KULIT KORBAN

Tentang Kulit Qurban, Ulama sepakat bahwa kulit qurban boleh diambil oleh orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain. Akan tetapi, tentang bolehnya pengqurban mengambil kulit qurban, para ulama berbeda pandangan. Jumhur ulama berpandangan: “Pengqurban boleh mengambil kulit hewan qurbannya sendiri.”
Sebagian ulama lainnya menyatakan: “Pengqurban boleh menjual kulit qurbannya sendiri lalu ia mengambilnya atau bershadaqah dengannya. Tetapi sebagian yang lainnya seperti ulama’ pengikut Imam Malik tidak membolehkan menjual kulit korban atau menukar dengan yang lain, apapun bentuknya. Yang melarang menjual beralasan dengan

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّةٍ فَلا أُضْحِيَّةَ لَهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; Barangsiapa menjual kulit binatang korbannya maka tidak ada (pahala) korban baginya (HR al-Hakim dan al-Baihaqi, namun hadits ini dinilai dla’if karena di dalam sanadnya ada Abdullah bin ‘Ayyasy)

Namun jika kulit itu telah diberikan kepada orang lain, maka ia boleh saja melakukan penjualan atau menukar dengan sesuatu yang lain, sebab yang dilarang menjualnya adalah pengqurban.

MEMBAGIKAN KEPADA NON-MUSLIM

Persoalan ini juga merupakan wilayah yang diperselisihkan di antara para ulama’. Sebagian membolehkan kita memberikan daging qurban untuk non muslim (ahlu zimah), sebagian lainnya tidak membolehkan.

Kalau kita telusuri lebih dalam literatur syariah, kita akan menemukan beberapa variasi perbedaan pendapat, yaitu: Imam Al-Hasan Al-Basri, Al-Imam Abu Hanifah dan Abu Tsaur berpendapat bahwa boleh daging qurban itu diberikan kepada fakir miskin dari kalangan non muslim. Sedangkan Al-Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya. Al-Laits mengatakan bila daging itu dimasak dulu kemudian orang kafir zimmi diajak makan, maka hukumnya boleh. Sementara Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa umumnya ulama membedakan antara hukum qurban sunnah dengan qurban wajib. Bila daging itu berasal dari qurban sunnah, maka boleh diberikan kepada non muslim. Sedangkan bila dari qurban yang hukumnya wajib, hukumnya tidak boleh.
Pendapat yang kuat, menurut kami, adalah yang membolehkan pemberian daging korban kepada orang kafir. Sebab pemberian ini termasuk sedekah, dan bersedekah kepada non-Muslim tidak ada larangan. Apalagi jika mereka adalah kerabat, atau tetangga kita. Allahu a’lam bish-Shawab.[muslimdaily.net]

Hidup Sehat Cara Rasulullah

Sabtu, 13 November 2010

0 komentar
“Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Konon, selama hidupnya Rasulullah SAW hanya sakit dua kali. Yaitu setelah menerima wahyu pertama, ketika itu beliau mengalami ketakutan yang sangat sehingga menimbulkan demam hebat. Yang satunya lagi menjelang beliau wafat. Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal. Ada pula yang menyebutkan bahwa Rasul mengalami sakit lebih dari dua kali.

Berapa pun jumlahnya, dua, tiga atau empat kali, memperjelas gambaran bahwa beliau memiliki fisik sehat dan daya tahan luar biasa. Padahal kondisi alam Jazirah Arabia waktu itu terbilang keras, tandus dan kurang bersahabat. Siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang hebat.

Mengapa Rasulullah SAW jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan Sunnah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Cara Rasulullah menjaga kesehatan

Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah SAW selalu tampil fit dan jarang sakit. Di antaranya:

Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda,” Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran”(HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). Disabdakan,”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Ketiga, makan dengan tenang, tumaninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Allah. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat. Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah SAW biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.

Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat. Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional. Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.

Kelima, istikamah melakukan saum sunnat, di luar saum Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa saum sunnat yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul bith, saum Daud, saum enam hari di bulan Syawal, dsb. Saum adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Saum menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Saum sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.

Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah SAW yang layak kita teladani. Dalam buku Jejak Sejarah Kedokteran Islam, Dr Jafar Khadem Yamani mengungkapkan lebih dari 25 pola hidup Rasul berkait masalah kesehatan, sebagian besar bersifat pencegahan. Di antaranya cara bersuci, cara memanjakan mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.

Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam shalat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati. Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam memenej hati, pikiran dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani.[muslimdaily.net]

Kisah Keajaiban Sebuah Sedekah

Kamis, 11 November 2010

0 komentar
Sembuh dari Kanker karena Sedekah

Kisah berikut ini adalah salah satu kisah yang sangat terkenal dan menjadi pelajaran berharga bagi setiap orang.
Tokoh dalam kisah ini adalah seorang lelaki kaya raya, dia adalah pengusaha besar. Suatu ketika dia tekena penyakit kronis yang tidak bisa didiamkan begitu saja.Dia lalu pergi memeriksakan diri ke rumah sakit terkenal. Menurut diagnosa dokter, ditemukan penyakit kanker kronis dalam tubuhnya, dan prosentase kesembuhannya sangat tipis sekali. Para dokter menyarankan agar dia mau berobat ke luar negeri supaya mendapat perawatan intensif. Seketika itu juga lelaki itu berangkat ke luar negeri untuk menjalani pemeriksaan dan hasilnya sama dengan diagnosa dalam negeri. Para dokter di rumah sakit itu lalu menyarankan agar dia mau melakukan operasi untuk menghilangkan anggota tubuhnya yang digerogoti kanker.
Akan tetapi lelaki tersebut meminta para dokter agar mau memberikan tenggang waktu untuk pulang ke Negara asalnya terlebih dahulu. Dia berkeinginan untuk mengurus segala sesuatunya, dan berwasiat kepada anggota keluarganya, jika ternyata setelah operasi ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Akhirnya lelaki itupun pulang kenegara asalnya lalu mengurus segala sesuatunya. Tidak lupa dia menuliskan wasiat dan menitipkan anggota keluarganya kepada orang yang dipercayainya untuk menjaga keluarganya. Namun, dia sama sekali tidak memberitahukan kepada keluarganya permasalahan yang sedang dia hadapi.
Suatu ketika dipertengahan jalan menuju rumahnya, pandangannya tertuju kepada seorang perempuan tua yang berdiri disamping tempat penyembelihan binatang. Perempuan itu mengumpulkan tulang-tulang yang tercecer di sebelah tempat penyembelihan. Lelaki itu lalu menhentikan langkahnya dan menemui perempuan tua itu. Dia bertanya kenapa perempuan itu mengumpulkan tulang-tulang yang tercecer. Perempuan itu lalu bercerita kepadanya, bahwa anak-anaknya menjadi yatim sepeninggal suaminya. Keluarga ini sangat miskin dan tidak punya uang untuk membeli daging. Yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan tulang-tulang yang tercecer untuk dimasak sebagai ganti dari daging. Lelaki itu sangat tersentuh mendengar penuturan kondisi yang dihadapi perempuan itu. Dia lalu menyedekahkan uangnya dalam jumlah lumayan banyak kepada perempuan itu. Selanjutnya dia memberikan uang kepada tukang sembelih dalam jumlah yang lumayan banyak lalu memintanya untuk mengirimkan daging kepada perempuan itu setiap mingggunya. Perempuan itu sangat berterimakasih kepada lelaki itu. Tidak lupa dia mendoakan lelaki itu lalu permisi dan meninggalkan tempat.
Beberapa hari kemudian, lelaki itu pergi ke luar negeri untuk menjalani operasi. Sebelum operasi dilaksanakan, terlebih dahulu dokter memeriksa lelaki itu kembali. Hasilnya sangat mencengangkan. Berubahlah raut muka dokter itu, dan dengan nada marah dia bertanya kepada lelaki itu, “Apakah engkau sudah pergi ke rumah sakit lainnya untuk menjalani pengobatan atas penyakitmu itu?" Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Dokter itu berkata, “Bohong! Jujurlah padaku, apakah engkau sudah pergi ke rumah sakit lainnya atau tidak?” Lelaki itu menjawab, “Aku bersumpah, demi Allah aku sama sekali tidak pergi ke rumah sakit lainnya, Sebenarnya ada apa engakau bertanya seperti ini?” Dokter itu lalu menjawab, “Pemeriksaan dan diagnosa terbaru menunjukkan tubuhmu sama sekali sudah bersih dari kanker. Keadaanmu sekarang ini sehat-sehat saja.” Lelaki itu hampir tidak percaya atas apa yang dikatakan oleh dokter itu. Dia tidak kuasa membendung air matanya yang meleleh karena bahagia. Dia lalu bertanya kepada dokter itu apakah benar apa yang barusan dikatakan kepadanya. Dokter itu menjawab dan bersumpah bahwa apa yang dikatakannya adalah benar.
Setelah menyadari atas apa yang dialaminya ini, lelaki itu lalu bersyukur memanjatkan puji kepada Allah. Kemudian dia pulang ke Negara asalnya dalam keadaan sehat wal afiat. Dia menceritakan kepada anggota keluarganya, dan mereka semua sangat takjub terhadap peristiwa yang dialami lelaki itu.
Dalam hal ini lelaki itu berkata; Allah telah menyembuhkan aku berkat doa yang dipanjatkan oleh perempuan tersebut, karena aku telah bersedekah kepada anak-anak yatimnya.
Dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk memelihara keluarga miskin sampai waktu yang dikehendaki Allah.