MAU DONASI UNTUK PEMBANGUNAN RENOVASI MASJID BAROKAH PLUMBON?

Rabu, 11 Mei 2016

0 komentar

renovasi Masjid Barokah yang saat ini telah berjalan




Saat ini Masjid Barokah Plumbon sedang memulai kegiatan renovasi masjid untuk menampung jama'ah yang terus bertambah, alhamdulillah. Akan tetapi panitia menemui kendala dalam proses pembangunan saat ini yang sedang berjalan yaitu minimnya dana kas masjid yang semakin menipis. 
MAU DONASI UNTUK PEMBANGUNAN RENOVASI MASJID BAROKAH PLUMBON?
SALURKAN INFAQ, SHODAQOH TERBAIK MUSLIMIN MUSLIMAT SEKALIAN MELALUI:
1. Menyerahkan langsung infaq, shodaqoh langsung ke Panitia pembangunan Masjid Barokah di kampung Plumbon RT 3 RW 2 Siwal Baki, Sukoharjo. Kontak Bp. Supriono  di No. HP  088216629078
2. Melalui transfer ke rekening Bank Syariah Mandiri No. Rek 7096356905. Konfirmasi Transfer SMS/WA ke Bp. Ihsanuddin di No. HP 08122631664

Semoga Allah mencatat infaq, shodaqoh yang kita berikan sebagai amal jariyah. Amiin

Foto2 kegiatan renovasi Masjid yang telah berjalan saat ini:

serambi sisi kanan masjid Barokah

Atap masjid Barokah dilihat dari jalan

Ruang utama Masjid Barokah

Serambi sisi kiri saat ini.

Mari Semangat Sedekah Untuk Masjidku Sayang

0 komentar

Desain rencana pembangunan Masjid Barokah

Di kampung Plumbon, RT 3 RW 2 Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo inilah berdiri Masjid yang cukup tua usianya. Mungkin lebih tua dari usia sebagian besar pembaca buletin Baitul Mal ini. Masjid Barokah begitu kami menyebutnya. Dari namanya dapat dipahami makna dan artinya yang cukup mudah dimengerti. Sebagai seuntai doa, Masjid sebagai tempat sujud kepada Allah yang berlimpah keberkahan (Barokah) - InsyaAllah- bagi jama’ahnya,  bagi penghuninya yang senantiasa bertasbih, memuji Asma Allah baik di kala pagi maupun petang. Maka tak heran apabila dalam keseharian, Masjid yang  kita cintai selalu ramai oleh jama’ah yang menunaikan ibadah Sholat, serta mengaji, dalam setiap sela ibadah itu tentu saja mengalir kalimat dzikir mengagungkan AsmaNya. Kewajiban yang semestinya dilakukan oleh setiap muslim ini sebagaimana perintah dalam firman Allah SWT:
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (QS. An Nur: 37)
Serangkaian kegiatan mengkaji ilmu agama pun dilaksanakan di masjid Barokah yang kita sayangi. Setidaknya setiap waktu ada kegiatan yang diikuti mulai anak-anak sampai kakek nenek yang rutin mengikuti serangkaian pengajian pengiring aktivitas ibadah utama sholat fardhu di masjid. Anak-anak mengaji dan bermain minimal tiga kali dalam sepekan setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Kemudian setiap pekan sekali ada kajian bapak-bapak mengkaji Ilmu Hadits setiap malam Senin bersama Ustadz Irfan Supandi, M.Ag, setiap malam  jum’at Bapak-bapak mengaji Tarjamah Lafdziyah Al Qur’an bersama Ustadz Heru Mustaqim, S.Pdi. Kemudian kajian Umum Aqidah Ahlu sunnah wal jama’ah bersma Ustadz Thoyyib Abdurrahim. Selain itu ada kajian rutin Ibu-Ibu setiap Ahad pekan pertama yang dilaksanakan ba’da Asar dengan pembicara yang bergantian. serta setiap Ahad pagi pekan kedua dilaksanakan Kajian umum dengan ustadz yang berganti setiap pertemuannya.  
Alhamdulillah, penuh dan berjubel setidaknya begitulah pemandangan sehari-hari yang tampak ketika aktivitas masjid dilaksanakan. Apalagi di saat ramadhan –yang insyaAllah sebentar lagi akan datang kembali- atap tambahan di halaman masjid untuk jama’ah ibu-ibu menghiasi selama sebulan lamanya, menandakan Masjidku sayang tak lagi mampu menampung luapan kecintaan Jama’ah untuk ikut serta memakmurkan masjid. Pemandangan yang membuat hati kita gembira sekaligus kadang sedih. Masjidku sayang seakan semakin kecil dengan banyaknya jam,ah yang terus bertambah.
Maka, ketika ada iktikad dan niat dari jama’ah untuk membangun masjid yang lebih besar, yang lebih banyak menampung jama’ah,  membangun Masjid dua lantai di tanah yang tak terlalu luas itu –insyaAllah- maka marilah kita bersemangat mewujudkannya dengan menyisihkan sebagian harta yang kita punyai untuk mewujudkannya. Dengan begitu insyaAllah akan menambahkan keberkahan dan kenikmatan yang berlipat bagi kita semua. Sebagaimana firmanNya:
”Perumpamaan (sedekah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. “ (QS Al Baqarah: 261)
Marilah semangat sedekah bagi diri kita dan mengajak saudara-saudara kita untuk turut serta bersemangat sedekah membangun Masjid Barokah yang kita cintai. Wallahu musta’an

SYARAH HADITS ARBAIN KE-11 Meninggalkan Hal-hal yang Masih Samar Kehalalannya

Senin, 18 April 2016

0 komentar



Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu 'anhuma telah berkata: “Aku telah menghafal (sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu“. (HR. Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)

SYARAH / PENJELASAN

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hasan putra Ali bin Abi Tholib radhiyallaahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau dinyatakan oleh Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam:
Putraku (cucuku) ini adalah pemuka (sayyid), dan semoga Allah akan mendamaikan dengan sebabnya 2 kelompok kaum muslimin (H.R al-Bukhari)
Terbukti, sikap beliau yang mau mengalah dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah menyebabkan 2 pasukan besar: dari Iraq dan pasukan dari Syam berdamai dan tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, al-Hasan bin Ali masih berumur 7 tahun.
Dari hadits yang diriwatkan Al Hasan ini dapat diambil beberapa hikmah antara lain:
1.      Meninggalkan hal-hal yang masih samar kehalalannya
Hadits ini merupakan dalil yang memberikan panduan bagi muslim untuk meninggalkan hal-hal yang masih samar (syubhat) dan meragukan. Sebagai contoh, jika ada suatu makanan atau harta yang kita ragu kehalalannya, maka tinggalkanlah, hingga kita yakin akan halalnya.
Semakna dengan hadits:
Barangsiapa yang menjaga diri dari syubuhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya (H.R alBukhari)
2.      Keyakinan dalam Berbuat dan Kelapangan Jiwa
Seorang muslim membangun keyakinan dalam hatinya ketika berbuat. Karena itu, ia kokohkan ilmunya sebelum berbuat, sebab ilmu adalah landasan amal. Jika ada yang tidak ia pahami, ia tanyakan kepada orang yang berilmu sehingga ia mantap untuk beramal di atas keyakinan. Semakin bertambah keilmuan seseorang, semakin berkurang jumlah hal-hal yang meragukannya dalam syariat.
Ia juga tidak mau larut pada kasak-kusuk maupun isu yang tidak jelas jika ada saudaranya yang dicurigai. Ia akan melakukan tabayyun secara beradab hingga ia mendapat kepastian dan keyakinan dalam berbuat. Segala bentuk keraguan ia tinggalkan.
Ia akan berusaha bersikap jujur dan menjauhi kedustaan, karena kejujuran akan mewariskan ketenangan, sedangkan kedustaan menghasilkan kebimbangan dan ketidaktenangan.
Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan dusta adalah keraguan (H.R atTirmidzi, lanjutan potongan hadits al-Hasan di atas).
Jika ia ragu pada sebuah pilihan, ia akan bermusyawarah dengan orang yang ahli dan sholih kemudian beristikharah kepada Allah.
Penyebab kegalauan hati dan kebimbangan yang utama adalah kesyirikan. Seorang yang syirik, akan terombang-ambing dalam ketakutan dan ketenangan yang semu. Ketakutannya akan semakin menjadi-jadi ketika ia semakin bergantung kepada selain Allah.
Sebagai contoh, seorang yang minta tolong kepada Jin, maka ikatannya akan semakin kuat dan bertambah kuat. Semakin bergantung kepada pertolongan jin itu, semakin bertambah dosa dan ketakutannya
Dan bahwasanya ada beberapa manusia laki-laki meminta perlindungan kepada laki-laki Jin sehingga menambah kepada mereka ketakutan (Q.S al-Jin: 6)
Demikian juga orang yang menggunakan jimat, semakin bergantung pada jimat tersebut, semakin tidak tenang jiwanya
Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menyempurnakan keinginannya, barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), semoga Allah tidak memberikan ketenangan padanya (H.R Ahmad, dishahihkan al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahaby, al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawinya adalah terpercaya, al-Munawi menyatakan bahwa sanadnya shahih)
Oleh karenanya orang yang tidak beriman penuh dengan keragu-raguan dalam jiwanya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Sesungguhnya yang akan meminta idzin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya (Q.S atTaubah:45)
3.      Kaidah Fiqh: Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan
Salah satu kaidah fiqh yang dibangun dari dalil-dalil al-Quran dan hadits adalah : al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syak (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil yang mendasari kaidah tersebut, untuk meninggalkan keraguan menuju hal yang meyakinkan.
Sebagai contoh, jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu’ lagi atau belum setelah sebelumnya batal, maka yang dijadikan patokan adalah kepastian bahwa ia sudah batal. Yang meragukan adalah berwudhu’ lagi. Keraguan tersebut tidak diperhitungkan. Maka ia harus berwudhu’ lagi.
Sebaliknya, dalam kasus yang lain: jika ia ragu apakah sudah batal wudhu’ atau belum, maka yang diambil adalah keyakinan bahwa ia masih suci. Batalnya wudhu’ berdasarkan keraguan. Maka persangkaan batal wudhu’ itu hendaknya ditinggalkan, karena berdasar keraguan. Ia tidak wajib berwudhu’ lagi kecuali jika ia ingin berwudhu’ untuk mendapatkan keutamaan, karena tidaklah seorang berwudhu’, kecuali akan berjatuhan dosa-dosanya ketika air wudhu’ berjatuhan dari jari jemarinya. 
 Wallahua’lam bi showwab

dimuat di buletin BM Barokah Edisi 16 April 2016

LAPORAN KEUANGAN BM BAROKAH Februari 2016

Selasa, 22 Maret 2016

0 komentar


I.       PENERIMAAN INFAQ
1.       Saldo Bulan Januari 2015 Rp. 300.300
2.      Donatur BM Barokah Februari 2015
 Kotak Infaq Tarjamah Lafdziyah Rp. 95.000
-          Kotak Infaq Ibu Hj Suparno / Kurnia Rp. 114.200
-          Kotak Infaq Ibu Tarno Rp. 46.200
-          Kotak Infaq Gunawan Laundry Rp. 51.200
-          Kotak Infaq Hik Bp. Paridi Rp. 68.500
-          Kotak Infaq Siti Busroniah (Alm) Rp. 50.000
-          Kotak Infaq Ibu Indri (DD) Rp. 56.500
-          Kotak Infaq Bidan Sri Hartini Rp. 62.500
-          Kotak Infaq Bidan Sarni Rp. 30.000
-          Kotak infaq kajian Aqidah Rp. 234.900
 Sisa Pengadaan Makalah Kajian Aqidah Rp. 88.000
Pengembalian Dana Santunan Dhuafa' Rp. 30.000
Subsidi Masjid Barokah  Rp. 100.000
Jumlah Penerimaan Infaq Bulan Februari                Rp. 1.327.300
II.   PENYALURAN INFAQ
1.      Santunan Pendidikan Rp. 200.000
2.      Santunan Dhuafa’ Fakir Miskin Rp. 350.000
3.      Jamkesbal Bulan Februari Rp. 60.000
4.      Mukafa’ah Ust Kajian Tarjamah Rp. 150.000
5.      Mukafa’ah Ust Kajian Aqidah  Rp. 300.000
6.      Buletin BM Barokah Edisi Februari Rp. 100.000
7.      Amil Rp. 100.000
Jumlah Penyaluran Infaq Bulan Februari  Rp. 1.260.000
Saldo Infaq Bulan Februari Rp. 67.300
III. PENERIMAAN ZAKAT
1.      Saldo Zakat Mal Bulan Januari 2015 Rp.       14.000
2.      Penerimaan Zakat Bulan Februari:
         Ibu Devi Rp. 50.000
Saldo Zakat Bulan Februari Rp. 64.000
V.   DANA TALANGAN
1.       Alokasi Dana Talangan Rp. 3.000.000
2.      Dana Talangan Keluar Bulan Februari Rp. 2.275.000
3.  Pemutihan Hutang Rp. 300.000
Saldo Dana Talangan Rp. 425.000

SYARAH HADITS ARBAIN KE-10 PERINTAH MAKAN YANG HALAL DAN MENJAUHI YANG HARAM

0 komentar

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul. Allah berfirman : Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun : 51) dan Allah berfirman : “Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah : 172) Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) ‘Ya Rob. Ya Rob’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim dalam “Shahih”nya).
Syarah (Penjelasan)
Allah hanya menerima amal yang baik
Dari Hadits di atas, kita dapat fahami bahwa tak semua amal yang dilakukan oleh manusia, diterima oleh Allah Swt. Jadi setiap orang yang beramal seharusnya juga memperhatikan hal ini. Di dalam hadits di atas Rasulullah Saw menegaskan mana amal yang diterima Allah itu, yaitu hanya amal yang baik dan yang bersih saja. Sedangkan amal yang tidak baik dan bercampur dengan hal-hal yang haram dan kotor, dipastikan amal itu tidak akan diterima oleh Allah.
Lalu apakah amal yang baik? Amal yang baik bisa berupa ucapan atau perbuatan. Ucapan yang diterima oleh Allah ialah zikrullah, tilawatul Qur’an, nasehat dan ucapan yang mengajak orang ke jalan Allah. Bukan sebaliknya ucapan kotor, dan menyebarluaskan kesesatan dan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan dien Islam. Bukankah banyak ucapan/perkataan orang, baik disampaikan melalui obrolan, ceramah, diskusi, orasi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam? Maka ucapan semacam ini tidak akan diterima oleh Allah. Jadi pembicaraan itu akan menjadi sia-sia belaka dan orang Mukmin selalu menghaindar dari perilaku sia-sia, termasuk di dalamnya lawak lucu-lucu yang mengundang orang untuk tertawa. Perhatikan firman Allah Swt dalam Surat Fathir : “KepadaNya lah naik (disambut) perkataan-perkataan baik, dan amal yang saleh dinaikkanNya. (Fathir : 10).
Sedangkan amal perbuatan yang diterima oleh Allah adalah amal yang bersih dari segala yang mengotorinya seperti syirik, riya’ dan ‘ujub. Di samping amal itu tidak bercampur dengan benda lain yang haram.
Makanan yang Halal
Di dalam hadits di atas dengan jelas Rasulullah menekankan agar orang mukmin menghindari dan menjauhi makanan haram. Makanan haram, bisa jadi karena dua hal : 1. Benda yang dimakan itu sendiri adalah benda yang diharamkan seperti babi dan unsur-unsurnya, 2. Uang yang dikonsumsi adalah uang haram, karena diperolah dari sumber yang haram. Sungguh memprihatinkan keadaan sebagian umat Islam di negeri Muslim yang tidak peduli dengan mata pencahariannya dan uang yang diperolehnya. Mereka hidup dari yang haram. Sebagian dari merampas dan memeras uang rakyat. Sebagian hidup dari mempertontonkan aurat dan tubuhnya di depan public, bahkan menjual kehormatannya asal mendapatkan imbalan uang yang banyak. Sebagian dari transaksi bisnis yang tidak halal karena menggunakan uang riba, hasil tipuan, curang dan lainnya. Dari sumber itulah mereka hidup dan menghidupi keluarganya, bagaimana mungkin doa mereka dikabulkan oleh Allah ?
Doa-doa yang diijabah oleh Allah
Dalam hadits di atas disinggung juga soal doa. Pada dasarnya setiap hamba Allah wajib memanjatkan doa kepada Allah agar ia senantiasa berada dalam lindungan dan pemeliharaan Allah Swt. Demikian juga untuk menutup segala kebutuhannya. Namun untuk berdoa seharusnya diperhatikan pula berbagai persoalan yang terkait dengan doa, seperti apa saja yang membuat doa agar diijabah oleh Allah Swt.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah, disebutkan sabda Rasul Saw bahwa ada tiga doa yang dikabulkan oleh Allah Swt yaitu : 1. do’a orang yang sedang musafir. 2. Doa orang yang terzalimi. 3. Doa orang tua terhadap anaknya.
Begitu juga sebaliknya, ada hal-hal yang membuat doa seseorang terhalang dan tidak terkabul. Doa siapakah itu? Yaitu doa orang yang disebutkan di dalam hadits di atas.; do’a orang yang sumber kehidupannya berasal dari yang haram. Sabda Nabi : “Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, perutnya kenyang dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya terkabul?” Kenapa demikian? Karena pekerjaan yang memberikan hasil kepadanya adalah pekerjaan haram. Di sinilah setiap orang harus melakukan introspeksi, apakah pekerjaannya sekarang termasuk yang halal atau justru yang haram. Semua ini memerlukan kejujuran. Dan semua harus diukur dengan timbangan syari’at Islam dan ditanyakan kepada yang ahlinya.yang jujur. Apabila ternyata pekerjaan itu tergolong pekerjaan yang diharamkan, maka seharusnya seorang Muslim tidak ragu-ragu melepaskannya dan mencari pekerjaan lain yang halal, kendatipun hasilnya lebih kecil dari yang ada sebelumnya. Yang harus dijadikan standar adalah kualitas pencaharian (HALAL HARAM), bukan jumlah yang dihasilkan (besar).

 Wallahua’lam bi showwab

*Sumber: hasanalbanna.com pernah dimuat di Buletin BM Barokah Edisi 15 Tahun 2016

SYARAH HADITS ARBAIN KE-9 Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan

0 komentar


Diriwayatkan dari Abu Hurayrah R.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Apa yang kularang pada kalian, maka jauhilah perbuatan itu , dan apa kuperintahkan kepada kamu, laksanakanlah sesuai kemampuanmu. Sungguh kehancuran orang-orang sebelum kamu dahulu, adalah disebabkan karena banyaknya pertanyaan mereka dan menyalahi (membantah) nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhary dan Muslim)
Latar Belakang Munculnya Hadits :
Hadits ini mempunyai latar belakang kemunculannya. Dalam beberapa versi riwayat, seperti riwayat Muhammad Ibn Ziyad dari Abu Hurayrah, Ra, disebutkan, bahwa Rasul pernah berkhotbah yang isinya menerangkan bahwa Allah Swt mewajibkan haji kepada orang-orang Mukmin, oleh karenanya kewajiban ini harus dilaksanakan. Tiba-tiba seseorang bertanya, apakah haji dilaksanakan setiap tahun? Namun Nabi diam, tidak menjawab. Hingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya tiga kali. Kemudian Rasul menjawab: “Kalau saya katakana ‘ya’, niscaya ia akan menjadi (setiap tahun) dan kalian tidak akan sanggup. Kemudian Rasul melanjutkan ucapannya: “Cukupkan apa yang saya tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya kehancuran orang sebelum kamu dahulu, adalah karena banyak bertanya dan menyalahi (petunjuk) Nabi-nabi mereka. Bila kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka laksanakanlah menurut kadar kemampuanmu. Tetapi bila kularang dari suatu perbuatan, maka tinggalkanlah sepenuhnya.”
Dalam suatu riwayat dikatakan, maka turunlah ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’idah 101:
“Hai orang-orang beriman! Jangan kamu bertanya tentang berbagai masalah, karena jika dinyatakan (jawabannya) kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu.”
Penjelasan Hadits:
Hadits ini mengandung beberapa pengajaran, di antaranya:
1. Sikap seorang Muslim terhadap perintah dan larangan dien/syari’at (agama).
 Ada perbedaan sikap antara perintah dan larangan. Bila ada perintah dari Allah atau RasulNya, yang bersifat umum, tanpa penjelasan rincian, maka sikap Muslim adalah menjalankan perintah itu sesuai kemampuannya. Umpamanya, ada perintah melaksanakan Haji. Perintah itu tidak menentukan agar dilaksanakan setiap tahun atau berapa tahun sekali, maka seharusnya perintah itu tidak perlu ditanyakan rinciannya. Apabila dipenuhi pelaksanaannya menurut kemampuan seseorang (walau sekali), berarti perintah itu sudah dilaksanakan.
Berbeda halnya dengan larangan. Bila dien/syari’at melarang sesuatu, maka perbuatan itu harus ditinggalkan sepenuhnya, bahkan harus dijauhi. Umpamanya zina diharamkan. Maka perbuatan zina harus dijauhi dalam segala bentuknya, seperti berduaan tanpa mahram, mengunjungi tempat-tempat maksiyat, menonton film yang dapat merangsang nafsu, berpacaran, dan sejenisnya.
Akan tetapi bila sebuah kewajiban itu diterangkan dengan rinci, maka tidak dapat dilaksanakan sebatas kemampuan, melainkan harus dipenuhi standar yang diminta. Umpamanya kewajiban Shalat lima waktu. Kewajiban ini tidak dapat ditawar menjadi tiga kali shalat saja. Begitu juga kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh, tidak bisa ditawar menjadi setengah bulan, atau seminggu saja, dengan alasan sebatas kemampuan. Akan tetapi ia harus dilaksanakan sesuai dengan standar aturannya. Begitu juga lama (durasi)nya, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, tidak dapat ditawar agar kurang dari waktu itu, karena alasan kemampuan, padahal orang tersebut normal.
Kondisi tidak normal
Memang ada kalanya dalam pelaksanaan Ibadah, batas kemampuan sangat diperhatikan, yaitu bila terjadi keadaan tidak normal, seperti kesehatan, atau keadaan sulit dalam perjalanan. Hal ini didasarkan pada kaidah umum dalam Syari’at Islam yaitu ‘mudah’ dan ‘ringan’. Kaidah ini bersumber dari ayat al-Qur’an :
“Allah tidak membuat kamu menjadi sulit dalam (melaksanakan) dien.(agama)”.(al-Hajj 78).
Tampak sekali penerapan kaidah tersebut dalam pelaksanaan ibadah. Seperti keharusan berwudhu’ ketika hendak shalat. Apabila seseorang kesulitan mendapatkan air, atau air tersedia tetapi tidak dapat dipakai karena factor kesehatan, maka berdasarkan hukum syari’at, boleh menggunakan tanah atau debu (tayammum) sebagai pengganti wudhu’, Setelah bertayammum, seseorang melaksanakan shalat seperti biasa.
Begitu juga dalam pelaksanaan shalat itu sendiri. Bila seseorang tidak dapat berdiri, karena sakit, maka ia boleh sahalat dalam posisi duduk, bahkan kalau tidak mampu duduk, boleh berbaring. Bukankah ini keringanan syari’at karena mempertimbangkan keadaan pribadi seseorang.
Demikian pula dalam hal puasa. Bila seseorang berada dalam perjalanan ke luar kota (musafir), maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib mengulanginya pada hari-hari lain setelah Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkannya.
2. Masalah pertanyaan termasuk tema sentral yang diterangkan di dalam hadits di atas.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dien ini (Islam) adalah dien yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan salah satu kunci untuk memperoleh ilmu adalah dengan bertanya. Sementara isi hadits di atas, larangan untuk banyak bertanya. Apakah di sana terdapat pertentangan? Jawabannya: “tidak”.
Bila kita perhatikan watak (karakter) sebuah pertanyaan, terdapat berbagai jenis pertanyaan. Ada pertanyaan yang wajar dan bahkan harus dimunculkan. Seseorang tidak boleh membiarkan dirinya dalam keadaan tidak tahu (jahil) terhadap dien ini. Ia harus bertanya kepada ahlinya, jika ada yang tidak diketahuinya. Tetapi ada sebagian pertanyaan yang masih jauh kemungkinan terjadinya, atau dalam kondisi normal tidak terjadi. Umpamanya bagaimana cara shalat di bulan, ke arah mana menghadap? Atau seekor kambing melahirkan babi dalam kandungannya, apakah halal atau haram? Pertanyaan ini tak perlu ditanyakan, karena tidak ada perlunya.
Ada lagi sebagian orang bertanya dalam masalah hukum, tujuannya bukan ingin mengetahui kebenaran, tetapi mencari jawaban yang sesuai dengan seleranya. Contohnya, orang yang bertanya mengenai hukum berjilbab bagi perempuan. Pertanyaan itu berulang kali ia tanyakan kepada sejumlah ahli, namun semua ahli mengatakan, berjilbab hukumnya wajib. Ketika ia berjumpa dengan orang yang mengatakan berjilbab hukumnya tidak wajib, iapun merasa senang dan mendukung, karena ia mendapatkan jawaban yang sesuai menurut seleranya, bukan menurut kebenaran. Begitu juga pertanyaan tentang larangan agama mengikuti perayaan Valenstine’s Day sebagaimana orang-orang kafir melakukannya. Di banyak kesempatan banyak bertanya tentang hukum terkait itu dengan harapan ada jawaban yang membolehkan. Maka pertanyaan untuk mencari jawaban sesuai selera semacam ini termasuk sesuatu yang tercela dan harus dijauhi.
Jadi seorang Muslim ketika bertanya, hendaknya menyiapkan dirinya menerima jawaban atas pertanyaannya selama jawaban itu didukung oleh dalil.

Abu Hurayrah berkata, Rasulullah Saw bersabda : “Allah Swt menyukai kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula; Allah suka kalau kamu menyembahNya dan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatupun, dan berpegang teguh dengan tali Allah seluruhnya serta tidak berpecah belah. Dia benci dari kamu kata si A, kata si B, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim). Wallahua’lam bi showwab

*sumber: hasanalbanna.com pernah dimuat di Buletin Baitul Mal Edisi 14 Tahun 2016

SYARAH HADITS ARBAIN KE-8; MENEGAKKAN KEHORMATAN BERISLAM

Senin, 21 Maret 2016

0 komentar




Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu ‘Umar –radhiyallahu anhuma- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku diperintah untuk memerangi orang sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah kecuali hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila ini telah mereka laksanakan, berarti mereka telah memelihara darah dan hartanya dari aku, kecuali apa yang ditetapkan oleh Islam dan perhitungan mereka kepada Allah”. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim.
Tema Utama hadits ini :
Keislaman seseorang tidak hanya diukur sebatas syahadat (kesaksian) yang ia ucapkan. Tetapi juga harus diukur pada komitmen dan pengamalan ajaran pokok Islam seperti shalat, membayar zakat. Orang yang sudah menunjukkan komitmennya, maka darah dan hartanya wajib dilindungi oleh pemerintah. Darahnya tidak boleh ditumpahkan dan hartanya tidak boleh dirampas kecuali untuk kewajiban zakat. Oleh karenanya komitmen untuk menegakkan ajaran Islam utamanya mendirikan sholat dan membayar zakat adalah bentuk menegakkan kehormatan berislam yang wajib dilakukan.
Syarah:
Rasulullah menerangkan di dalam Hadits ini bahwa ia diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk memerangi kaum Musyrikin penyembah berhala hingga mereka bersyahadat dan menjalankan ajaran Islam.
Mungkin kalau ha.dits ini dibaca oleh orang di luar Islam, apalagi mereka yang sudah menyimpan kebencian pada Islam, mereka akan langsung menunjuk hadits ini sebagai ajakan untuk memaksa orang di luar Islam untuk masuk Islam. Padahal sebenarnya faktanya tidak demikian. Islam tidak memaksa manusia untuk masuk Islam. Oleh karenanya hadits ini harus dijelaskan sebaik mungkin dan dalam konteks ajaran Islam yang universal.
Harus diketahui bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah menghapuskan syirik (penyekutuan terhadap Allah) dari muka bumi dan menyebarluaskan Islam sebagai agama Tauhid ke seluruh penjuru dunia. Ini sebuah hakikat yang tidak dapat ditawar-tawar. Rasulullah diperintah Allah untuk memerangi kemusyrikan dan kaum Musyrikin di sekitar jazirah Arab. Jadi yang dimaksud dengan “manusia” di dalam hadits itu adalah penyembah berhala dan kaum Musyrik Arab dahulu pada zaman Nabi.
Adapun ahlul kitab, tidak termasuk di dalam hadits ini. Peperangan terhadap mereka pada zaman Nabi dikarenakan mereka bersekongkol (konspirasi) dengan kaum Musyrik Makkah untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bukan karena mereka sebagai ahlul kitab yang tidak masuk Islam. Jadi, syirik atau paganisme (penyembahan berhala) tidak boleh ada setelah Nabi saw dibangkitkan menjadi Rasul. Peperangan yang berlangsung pada masa Rasul umumnya adalah peperangan melawan mereka (kaum Musyrikin). Inilah yang dijelaskan oleh Hadits ini.
Kenapa mereka diperangi? Ini adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Nabipun hanya menjalankan perintah Allah Swt. Nabi tidak berhak merubah sedikitpun ketentuan yang telah menjadi ketetapan dari Allah Swt.
Namun orang yang sudah bersyahadat dan berikrar menjadi Muslim, tidak boleh dibiarkan mengabaikan salat, atau tidak membayar zakat. Apabila mereka tidak menjalankan kewajiban itu, terhadap mereka harus diambil tindakan tegas oleh pemerintahan Islam. Sebagaimana dulu sikap Abu Bakar ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu- pada masa kekhalifahannya terhadap pembangkang zakat, beliau memerangi kelompok itu dengan senjata. Lalu ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan beliau, “kenapa Anda memerangi orang yang sudah berikrar “La Ilaaha illallaah” padahal Rasul Saw mengatakan : “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi Tiada Tuhan kecuali Allah..” Kemudian Abu Bakar menjawab, “Sungguh zakat adalah kewajiban terhadap harta. Demi Allah kalau mereka menolak membayar zakat yang dulu mereka bayar kepada Rasulullah, niscaya aku perangi mereka.” Lalu ‘Umarpun mengikuti kebijakan Abu Bakar itu.
Perlindungan dari Negara :
Dalam hadits ini juga diterangkan, apabila seseorang yang telah bersyahadat dan menunaikan kewajiban utamanya, maka ia berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam. Darah dan hartanya tidak boleh diusik oleh siapapun. Maksudnya, darahnya tidak boleh tertumpah dan hartanya tidak boleh diambil siapapun, termasuk oleh Negara, selama orang tersebut tidak melakukan tindakan kejahatan yang mengakibatkan dia dihukum. Tetapi bila ia membunuh, menganiaya orang lain, maka hukum Qisas tetap berlaku.
Berbeda halnya di zaman sekarang, seseorang tidak mendapatkan rasa aman pada jiwa dan hartanya. Sewaktu-waktu nyawa bisa melayang, karena ditembak, atau dianiaya, dengan alasan yang tak jelas, atau tidak melalui peradilan resmi. Berapa banyak orang yang berseberangan dengan penguasa, tidak sepaham dengan penguasa, hidupnya terancam, ia hilang tiba-tiba, diculik, ditembak, dianiaya, dan seterusnya. Hartanya dirampas, dikuasai, disita dan seterusnya. Ini tidak terjadi dalam Negara yang didasarkan pada syari’at Allah.
Berbeda pendapat adalah hal biasa dalam Islam selama tidak menyangkut soal yang prinsip, aqidah dan hal-hal yang qath’i (pasti). Apalagi perbedaan itu sebenarnya bertitik tolak dari persamaan tujuan ingin kebaikan umat dan Negara. Perbedaan ini di dalam Islam sangat dihargai.
Demikian juga di dalam hadits ini diterangkan bahwa manusia baik sebagai individu atau sebagai badan hukum (Negara), hanya bisa menilai dan mengadili manusia dalam hal yang zahir saja, dalam sikap yang tampak seperti ucapan dan tindakan. Adapun hal-hal yang menyangkut batin, tersembunyi di dalam hati dan pikiran, seseorang tak bisa dihukum.
Wallahua’lam bishowab
Sumber: hasanalbanna.com

SYARAH HADITS ARBAIN KE-7 "Agama Adalah Nasehat"

Jumat, 18 Maret 2016

0 komentar

Diriwayatkan dari Tamim ad-Dary –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : ” Dien adalah nasehat”. Kata kami : untuk siapa?. Sabda beliau : “Nasehat untuk Allah, Kitabullah, RasulNya, pemimpin-pemimpin kaum Muslimin dan sesama mereka.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :
Tema sentral hadits ini adalah soal Nasehat. Inti dien ini adalah nasehat. Nasehat di dalam hadits ini biasa diartikan ketulusan jiwa terhadap pihak yang dinasehati; agar mengetahui kewajibannya kepada Allah, kepada kitabullah, kepada Rasulullah. Nasehat sedemikian penting dalam kehidupan umat Islam. Umat tidak boleh hidup cuek (La Mubalaah), tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, membiarkan apa saja terjadi, tanpa peduli. Setiap Muslim harus bersedia menasehati dan siap pula dinasehati.
Penjelasan :
1. Sungguh nasehat merupakan hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kadang suatu bencana, malapetaka, musibah atau kerusakan tidak terjadi jika program nasehat ini berjalan baik. Dalam bahasa popular, nasehat ini bisa diterjemahkan sebagai pengendali sosial (social control).
Hadits ini menerangkan jenis nasehat itu beragam dan tidak hanya searah. Rasulullah juga merinci isi nasehat yakni untuk Allah, al-Qur’an dan Rasulullah. Dimensinya juga dirinci, ada nasehat kepada pemimpin sebagai nasehat dari bawah ke atas (bottom up), di samping nasehat yang bersifat horizontal, antar sesama Muslim. Sistem ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup.
Kata dien juga bisa berarti amal, dan oleh karena amal inilah,hal ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup. dien disebut sebagai nasehat.
Saking pentingnya hadits ini oleh sebagian Ulama kedudukannya dikategorikan seperempat dien (agama). Demikian kata Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusy. Bahkan kata Imam Nawawy hadits ini mencakup seluruh sasaran dien, sebab dien ini terangkum dalam poin-poin yang dijabarkan oleh hadits ini.
2. Nasehat untuk Allah (Nasihat Lillah)
Apa yang dimaksud dengan Nasehat untuk Allah? Maksudnya adalah beriman kepada Allah, tidak mensekutukanNya, tidak mengingkari sifat-sifatNya, menjauhkanNya dari berbagai kekurangan, mentaatiNya, menjauhi maksiat padaNya,
3. Nasehat demi Kitab Allah (Nasihat Likitabillah)
Maksud nasehat Likitabillah adalah mengimani al-Qur’an sebagai kalam Allah yang tidak serupa dengan kalam manusia manapun. Tak seorangpun yang sanggup menandinginya. Juga berarti berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Juga berarti mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an, mendakwahkan isinya, dan membongkar kepalsuan orang-orang yang menyalahgunakannya.
4. Nasehat demi Rasulullah (Nasihat Li Rasulillah)
Nasehat untuk Rasul maksudnya mencontoh prilakunya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan hadits-haditsnya, mencintai Rasul dan keluarganya, menyampaikan nasehat atau pesan kepada orang agar berpegang kepada petunjuk-petunjuknya Saw.
5. Nasehat untuk Pemimpin (Nasihat Li A’immatil Muslimin)
Nasehat jenis ini menyangkut nasehat yang berdimensi vertical, dari rakyat kepada pemimpinnya. Inilah yang sering dilupakan kaum Muslimin, termasuk para ‘Ulama. Dari hadits ini kita ketahui bahwa Islam mengajarkan keharusan setiap Muslim menyampaikan nasehat kepada pemimpin mereka agar jangan sampai, kedudukan pemimpin yang berada di “atas” membuat rakyatnya takut menyampaikan nasehat. Akibatnya membuat pemimpin lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Allah Swt. Akhirnya mereka berbuat sesuka hatinya, memaksakan kemauannya dan menzalimi rakyatnya. Atau dalam bahasa kontemporer disebut pemimpin yang otoriter. Untuk mencegah hal itulah, sistem nasehat secara timbal balik perlu dijalankan. Jadi hadits ini bisa diartikan sebagai perintah agar perjalanan kepemimpinan harus diawasi dan tidak dibiarkan berjalan sendiri.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurayrah berkata, Rasulullah bersabda :
 “Allah menyukai dari kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula : Allah meridhoi kalau kamu beribadah kepadaNya, tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an) seluruhnya, tidak berpecah belah, dan kamu sampaikan nasehat kepada pemimpin yang Allah berikan kepadanya kekuasaan memimpin kamu. Allah membenci dari kamu: mengutip ucapan si A dan ucapan si B (berpaling dari petunjuk wahyu kepada ucapan manusia), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” Riwayat Ahmad, Malik, Bukhari dalam al-adab al-mufrad.
Namun menasehati pemimpin sudah barang tentu mempunyai etika sendiri, tidak semaunya saja, sehingga meruntuhkan martabatnya, melukai harga dirinya di depan umum. Kepada sesama Muslimpun itu tidak diperkenankan, apalagi kepada pemimpin.
Masih dalam konteks menasehati pemimpin, berikut ini kami kutipkan penjelasan dari seorang ‘alim salaf, Abu Utsman yang lebih rinci bagaimana menjalankan program nasehat kepada pemimpin ini.
Abu Utsman berkata : “Nasehatilah pemimpin, perbanyaklah doa untuk dia demi kebaikan dan kecerdasannya dalam perkataan, perbuatan dan memerintah. Sebab jika mereka baik, manusia ikut menjadi baik gara-gara mereka. Jangan sekali-kali engkau mendoakan kecelakaan mereka, sehingga keburukan mereka akan semakin parah dan bala akan semakin menimpa kaum Muslimin. Akan tetapi doakanlah mereka agar bertaubat, sehingga mereka meninggalkan keburukan dan terangkat pula bala’ (bencana) dari kaum Mukminin. Jangan engkau mendatangi mereka, atau sengaja mengada-ada untuk menjumpai mereka, atau engkau suka kalau mereka mendatangimu, dan berusahalah untuk lari dari mereka sedapat mungkin selama mereka mengerjakan keburukan. Jika mereka bertaubat, meninggalkan kejahatannya dalam perkataan, perbuatan, dan hukum kemudian mereka mengambil dunia dari pintunya yang benar, itulah yang diharapkan. Jangan engkau mencari kemuliaan dari mereka, agar supaya engkau jauh dari mereka, namun tetap dekat dengan kasih sayang serta nasehat terhadap mereka, insya Allah.”
‘Ulama sebagai pemimpin umat dalam wilayah dien, harusnya mengambil peran sebagai pemberi nasehat. Bukan sebagai penyair yang memuja-muji prilaku pemimpin. Kalau perlu mengkritik sikap yang keliru dari pemimpin, supaya kekeliruan itu tidak terus menerus berkelanjutan. Padahal contoh keteguhan sikap Ulama dalam sejarah Islam sangat kaya. Mereka rela pindah tidur ke sel penjara, demi menyuarakan kebenaran. Mereka rela dikucilkan dan difitnah penguasa demi mencari ridho Allah Swt. Imam Ahmad ibn Hanbal, mendekam di penjara hingga meninggal di dalamnya, karena keteguhannya membela ‘aqidah yang benar di masa rezim Muktazilah. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i juga punya catatan sejarah berhadapan dengan penguasa di zamannya, karena tidak mau memenuhi permintaan penguasa. Contoh-contoh itu sangat kaya dalam sejarah umat Islam. Tetapi tidak sedikit orang berilmu (‘alim) di zaman ini menjadi pemuja penguasa.
Rasulullah Saw pun mengingatkan dalam salah satu haditsnya yang diriwayatan oleh Ka’ab ibn ‘Ujroh, ia berkata, pernah Rasul keluar menjumpai kami, lalu bersabda :
 “Akan muncul setelah aku nanti Raja-raja (zhalim), maka siapa yang percaya pada kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Tetapi siapa yang tidak percaya kepada kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk dalam golonganku, aku bagian darinya, dan ia akan datang kepadaku di telaga (haudh) di syurga.”
6. Nasehat untuk sesama umat (Nasihat Li ‘Ammatil Muslimin)
Nasehat ini berdimensi horizontal, antar sesama kaum Muslimin. Nasehat ini tidak kalah pentingnya dibanding nasehat sebelumnya. Sebab apabila masyarakat itu menjadi baik, Allah akan pilihkan kepada mereka pemimpin yang baik pula. Demikian pula sebaliknya. Jadi perbaikan masyarakat melalui nasehat ini mutlak diperlukan. Apa saja program yang harus dijalankan dalam konteks ini? Di antaranya menanamkan kasih sayang kepada sesama Muslim, membela kepentingan kaum Muslimin, tidak menyakiti mereka, mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga ketakwaan dan kesalehan, dan seterusnya. Penjual wajib mengingatkan pembeli akan barang yang dijualnya.
Diceritakan bahwa dulu Jarir, seorang Sahabiy, kalau mau menjual barangnya, ia menceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barang itu, kemudian memberi kebebasan memilih. Iapun berkata : Kalau anda berminat, silakan beli, kalau tidak, silakan tinggalkan. Lalu ada yang berkata kepadanya : kalau anda menjual seperti ini, tidak akan ada orang yang membelinya. Ia menjawab : “Kami sudah berbai’ah kepada Rasul agar menyampaikan nasehat kepada setiap Muslim.”
Jadi, Jarir tidak peduli barangnya tidak laku gara-gara ia menceritakan cacar barang yang dijualnya. Tetapi yang lebih penting baginya, menjalankan pesan Nabi Saw agar memegang nasehat kepada setiap Muslim.
Bisa kita bandingkan kondisi pedagang di zaman Nabi dan pedagang di zaman sekarang. Di zaman ini, ada beberapa pedagang sengaja menyembunyikan cacat barangnya, asal barang itu terjual seluruhnya, padahal uang yang masuk ke kantongnya adalah uang haram. Kemana kita mencari kejujuran di zaman ini? Di mana ditemukan amanah saat ini? Pertanyaan yang susah dijawab. Korupsi merajalela, amanah hanya tinggal nama, kejujuran hampir tak dijumpai lagi. Masing-masing orang memburu dunia agar cepat kaya dengan cara apapun jua.ceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barangnya.
Kalau kita perhatikan di masyarakat saat ini, nasehat jenis ini sebagian sudah berjalan, tetapi tidak optimal. Ia berjalan melalui khutbah jum’at, pengajian di masjid-masjid, dan pendidikan di sekolah-sekolah agama. Namun, yang terbanyak dari umat ini, tidak datang ke Masjid, tidak menghadiri pengajian. Sehingga praktis, cara ini kurang berjalan merata. Keberadaan umat terbanyak ada di pasar, pusat perbelanjaan, di tempat mereka bekerja, atau duduk di depan televisi. Sayangnya, tempat-tempat ini sudah didominasi oleh kalangan yang tidak suka kepada Islam. Media kita sudah dikuasai oleh barat. Sehingga program dan isinya tidak jauh-jauh dari pornografi, musik, sport. Publik opini masyarakat juga sudah dikendalikan oleh Barat dan kaki tangannya melalui penguasaan mereka terhadap media, komunikasi dan ekonomi. Seharusnya umat Islam bangkit merebut pos-pos yang efektif mempengaruhi public opini agar apa yang tertuang dalam Hadits Nabi ini berjalan dengan baik.
Sekali lagi hadits ini masih tergolong singkat tetapi isinya mencakup seperempat ajaran Islam.

*Sumber: hasanalbanna.com
*pernah dimuat di buletin BM Barokah Edisi 12 Desember 2015

SYARAH HADITS ARBAIN KE-6 MEMBEDAKAN YANG HALAL DAN YANG HARAM

0 komentar

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]


Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.

Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.

Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.

Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à seperti seorang laki-laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.

Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Wallahua’lam bishowwab

*pernah dimuat di buletin Barokah Edisi 11 Bulan November 2015