SYARAH HADITS ARBAIN KE-9 Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan
Selasa, 22 Maret 2016
Label:
Baitul Mal,
Buletin,
Hadits
Diriwayatkan dari
Abu Hurayrah R.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Apa yang
kularang pada kalian, maka jauhilah perbuatan itu , dan apa kuperintahkan
kepada kamu, laksanakanlah sesuai kemampuanmu. Sungguh kehancuran orang-orang
sebelum kamu dahulu, adalah disebabkan karena banyaknya pertanyaan mereka dan
menyalahi (membantah) nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhary dan Muslim)
Latar Belakang Munculnya Hadits :
Hadits ini
mempunyai latar belakang kemunculannya. Dalam beberapa versi riwayat, seperti
riwayat Muhammad Ibn Ziyad dari Abu Hurayrah, Ra, disebutkan, bahwa Rasul
pernah berkhotbah yang isinya menerangkan bahwa Allah Swt mewajibkan haji
kepada orang-orang Mukmin, oleh karenanya kewajiban ini harus dilaksanakan.
Tiba-tiba seseorang bertanya, apakah haji dilaksanakan setiap tahun? Namun Nabi
diam, tidak menjawab. Hingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya tiga kali.
Kemudian Rasul menjawab: “Kalau saya katakana ‘ya’, niscaya ia akan menjadi
(setiap tahun) dan kalian tidak akan sanggup. Kemudian Rasul melanjutkan
ucapannya: “Cukupkan apa yang saya tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya
kehancuran orang sebelum kamu dahulu, adalah karena banyak bertanya dan
menyalahi (petunjuk) Nabi-nabi mereka. Bila kuperintahkan kalian untuk
melakukan sesuatu, maka laksanakanlah menurut kadar kemampuanmu. Tetapi bila
kularang dari suatu perbuatan, maka tinggalkanlah sepenuhnya.”
Dalam suatu
riwayat dikatakan, maka turunlah ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’idah 101:
“Hai orang-orang
beriman! Jangan kamu bertanya tentang berbagai masalah, karena jika dinyatakan
(jawabannya) kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu.”
Penjelasan Hadits:
Hadits ini
mengandung beberapa pengajaran, di antaranya:
1. Sikap seorang Muslim terhadap perintah dan larangan dien/syari’at
(agama).
Ada perbedaan sikap antara perintah dan
larangan. Bila ada perintah dari Allah atau RasulNya, yang bersifat umum, tanpa
penjelasan rincian, maka sikap Muslim adalah menjalankan perintah itu sesuai
kemampuannya. Umpamanya, ada perintah melaksanakan Haji. Perintah itu tidak
menentukan agar dilaksanakan setiap tahun atau berapa tahun sekali, maka
seharusnya perintah itu tidak perlu ditanyakan rinciannya. Apabila dipenuhi
pelaksanaannya menurut kemampuan seseorang (walau sekali), berarti perintah itu
sudah dilaksanakan.
Berbeda halnya
dengan larangan. Bila dien/syari’at melarang sesuatu, maka perbuatan itu harus
ditinggalkan sepenuhnya, bahkan harus dijauhi. Umpamanya zina diharamkan. Maka
perbuatan zina harus dijauhi dalam segala bentuknya, seperti berduaan tanpa
mahram, mengunjungi tempat-tempat maksiyat, menonton film yang dapat merangsang
nafsu, berpacaran, dan sejenisnya.
Akan tetapi bila
sebuah kewajiban itu diterangkan dengan rinci, maka tidak dapat dilaksanakan
sebatas kemampuan, melainkan harus dipenuhi standar yang diminta. Umpamanya
kewajiban Shalat lima waktu. Kewajiban ini tidak dapat ditawar menjadi tiga
kali shalat saja. Begitu juga kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh, tidak
bisa ditawar menjadi setengah bulan, atau seminggu saja, dengan alasan sebatas
kemampuan. Akan tetapi ia harus dilaksanakan sesuai dengan standar aturannya.
Begitu juga lama (durasi)nya, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari,
tidak dapat ditawar agar kurang dari waktu itu, karena alasan kemampuan,
padahal orang tersebut normal.
Kondisi tidak normal
Memang ada kalanya
dalam pelaksanaan Ibadah, batas kemampuan sangat diperhatikan, yaitu bila
terjadi keadaan tidak normal, seperti kesehatan, atau keadaan sulit dalam
perjalanan. Hal ini didasarkan pada kaidah umum dalam Syari’at Islam yaitu
‘mudah’ dan ‘ringan’. Kaidah ini bersumber dari ayat al-Qur’an :
“Allah tidak
membuat kamu menjadi sulit dalam (melaksanakan) dien.(agama)”.(al-Hajj 78).
Tampak sekali
penerapan kaidah tersebut dalam pelaksanaan ibadah. Seperti keharusan berwudhu’
ketika hendak shalat. Apabila seseorang kesulitan mendapatkan air, atau air
tersedia tetapi tidak dapat dipakai karena factor kesehatan, maka berdasarkan
hukum syari’at, boleh menggunakan tanah atau debu (tayammum) sebagai pengganti
wudhu’, Setelah bertayammum, seseorang melaksanakan shalat seperti biasa.
Begitu juga dalam
pelaksanaan shalat itu sendiri. Bila seseorang tidak dapat berdiri, karena
sakit, maka ia boleh sahalat dalam posisi duduk, bahkan kalau tidak mampu
duduk, boleh berbaring. Bukankah ini keringanan syari’at karena
mempertimbangkan keadaan pribadi seseorang.
Demikian pula
dalam hal puasa. Bila seseorang berada dalam perjalanan ke luar kota (musafir),
maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib mengulanginya
pada hari-hari lain setelah Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkannya.
2. Masalah pertanyaan termasuk tema sentral yang diterangkan di dalam
hadits di atas.
Tidak bisa
dipungkiri, bahwa dien ini (Islam) adalah dien yang sarat dengan ilmu pengetahuan.
Sedangkan salah satu kunci untuk memperoleh ilmu adalah dengan bertanya.
Sementara isi hadits di atas, larangan untuk banyak bertanya. Apakah di sana
terdapat pertentangan? Jawabannya: “tidak”.
Bila kita
perhatikan watak (karakter) sebuah pertanyaan, terdapat berbagai jenis
pertanyaan. Ada pertanyaan yang wajar dan bahkan harus dimunculkan. Seseorang
tidak boleh membiarkan dirinya dalam keadaan tidak tahu (jahil) terhadap dien
ini. Ia harus bertanya kepada ahlinya, jika ada yang tidak diketahuinya. Tetapi
ada sebagian pertanyaan yang masih jauh kemungkinan terjadinya, atau dalam
kondisi normal tidak terjadi. Umpamanya bagaimana cara shalat di bulan, ke arah
mana menghadap? Atau seekor kambing melahirkan babi dalam kandungannya, apakah
halal atau haram? Pertanyaan ini tak perlu ditanyakan, karena tidak ada
perlunya.
Ada lagi sebagian
orang bertanya dalam masalah hukum, tujuannya bukan ingin mengetahui kebenaran,
tetapi mencari jawaban yang sesuai dengan seleranya. Contohnya, orang yang
bertanya mengenai hukum berjilbab bagi perempuan. Pertanyaan itu berulang kali
ia tanyakan kepada sejumlah ahli, namun semua ahli mengatakan, berjilbab
hukumnya wajib. Ketika ia berjumpa dengan orang yang mengatakan berjilbab
hukumnya tidak wajib, iapun merasa senang dan mendukung, karena ia mendapatkan
jawaban yang sesuai menurut seleranya, bukan menurut kebenaran. Begitu juga
pertanyaan tentang larangan agama mengikuti perayaan Valenstine’s Day
sebagaimana orang-orang kafir melakukannya. Di banyak kesempatan banyak bertanya
tentang hukum terkait itu dengan harapan ada jawaban yang membolehkan. Maka
pertanyaan untuk mencari jawaban sesuai selera semacam ini termasuk sesuatu
yang tercela dan harus dijauhi.
Jadi seorang
Muslim ketika bertanya, hendaknya menyiapkan dirinya menerima jawaban atas
pertanyaannya selama jawaban itu didukung oleh dalil.
Abu Hurayrah
berkata, Rasulullah Saw bersabda : “Allah Swt menyukai kamu tiga perkara dan
membenci dari kamu tiga perkara pula; Allah suka kalau kamu menyembahNya dan
tidak menyekutukan Dia dengan sesuatupun, dan berpegang teguh dengan tali Allah
seluruhnya serta tidak berpecah belah. Dia benci dari kamu kata si A, kata si
B, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim). Wallahua’lam bi
showwab
*sumber: hasanalbanna.com pernah dimuat di Buletin Baitul Mal Edisi 14 Tahun 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan kritik dan saran anda...Jazakumullah Khoir...