Haramnya Muslim Terlibat Natal

Sabtu, 18 Desember 2010

0 komentar
Oleh: Pak Nadi, Peminat Kristologi

Solo, 29 Nov 2010

KATAKAN YANG HAQ ADALAH HAQ, YANG BATIL ADALAH BATIL

JANGAN MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN KARENA AKAN DILAKNAT ALLAH


NATALPUN URUSAN UMAT ISLAM

Sekarang ini Natal bukan hanya urusannya umat Kristen tetapi telah menjadi urusan umat Islam pula. Kenapa ? Tidak banyak yang menyadari bahwa semakin mewabah dimana-mana umat Islam telah sengaja diprovokasi, dijebak dan dijerumuskan untuk terlibat dalam Natalan. Berikut adalah pernyataan mereka di Majalah Kristen Bahana, Januari 2008 “Gereja bertekad bahwa kebahagiaan Natal haruslah dirayakan dan dibagikan ke sesama, tanpa peduli agama, ras dan suku”

Maka Istilah Natal bersama bukan lagi sekedar bermakna kebersamaan perayaan Natal antara umat Kristen Katolik dengan umat Kristen Protestan atau dengan umat Kristen dari aliran/ sekte yang lain, tetapi juga melibatkan umat Islam atau umat non Kristen lainnya.

Permasalahannya adalah :

1. Natal meskipun sepintas yang tampak adalah kebahagiaan, hakekatnya adalah malapetaka akherat. Natal semarak dengan aneka dosa yang bisa mengundang murka Allah. Mau tahu sebabnya ? Baca tuntas tulisan ini.

2. Aneka dosa yang melekat pada natal tentulah sudah disadari elite-elite Kristen. Gereja kalau memang komit pada kebenaran, kenapa justru menikmati dan terus menghidup-hidupkan natal ? membiarkan umatnya menangguk dosa ?

3. Untuk apa Gereja bertekad (bernafsu) merayakan natal bersama umat agama lain (Islam dll) ? Apa mereka tidak tahu bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tanggal 1 Jumadil Awal 1401 H bertepatan dengan 7 Maret 1981 di Jakarta telah mengeluarkan fatwa mengharamkan umat Islam mengikuti perayaan Natal dan menganjurkan untuk tidak terlibat natal ? Apa para Islamolog mereka tidak tahu kalau di Islam berlaku prinsip Lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang menyiratkan larangan bagi umat Islam untuk ikut mengamalkan syariat orang kafir / non Islam ? Atau justru tidak ingin kotor sendiri, gereja menarik umat Islam untuk merasakan guyuran dosa natal bersama mereka ?

4. Tekad atau lebih tepat disebut kenekadan Gereja bukankan suatu bentuk intoleransi , terorisme akidah, melecehkan prinsip agama Islam dan memprovokasi umat Islam yang justru akan memicu SARA ? Artinya siapa penabuh genderang perang ? Gereja atau umat Islam yang terpanggil berjuang membentengi akidah umatnya ?

BID’AH NATAL

Sudah jelas dan semua orangpun telah maklum bahwa natal bukanlah ajaran Islam, tidak ada petunjuk untuk melaksanakannya baik didalam Al Qur’an maupun As Sunah. Wajar kalau umat Islam banyak kurang paham tentangnya.

Natal adalah ibadah yang paling sakral, paling populer bagi umat Kristen. Natal sekaligus merupakan perayaan yang paling meriah yang dirayakan oleh mayoritas penduduk dunia. Setiap tahun umat Kristen tidak pernah absen merayakannya dengan gegap gempita.

Tetapi sungguh ironis bin lucu, ternyata umat Kristen masih banyak yang tidak tahu menahu, tidak paham bahwa natal itu tidak alkitabiah. Artinya natal itu tidak relevan bahkan menyimpang dari isi Alkitab.

Mereka tidak menyadari bahwa tidak satu kata “natal” pun tercantum didalam Alkitab yang sering juga disebut Bible atau Injil. Perayaan paling popular itu ironisnya sama sekali tidak dikenal di Alkitab yang manakala pergi ke gereja mereka selalu tak pernah lupa menentengnya dengan anggunnya. Padahal Alkitab yang mereka yakini sebagai Kitab Suci Firman Tuhan, semestinyalah menjadi acuan, pedoman umat Kristen dalam melakukan perkara apapun apalagi perkara sepenting natal. Dengan kata lain kalau memang natal itu perkara penting dimata Tuhan, tentulah Tuhan memfirmankannya. Lalu bagaimana mungkin gereja dan umat Kristen bisa mengabaikan fakta bahwa “natal” tidak tercantum di Alkitab ? Untuk apa ada slogan Sola Scriptura ?natal bisa dipastikan bukan pep>

Tidak adanya kata “natal” di Alkitab mengarahkan kepada kesimpulan brintah Tuhan tetapi hanyalah perintah manusia. Silahkan umat Kristen merenungkan di Alkitab Kitab Matius pasal 15 ayat 9 yang berbunyi “Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." Logikanya kalau umat Kristen taat kepada yang mereka yakini sebagai Firman Tuhan, maka natal yang hanyalah perintah manusia sehingga percuma, haruslah sudah ditinggalkan mereka dulu-dulu.

Natal tidak mungkin sudah dikenal apalagi diajaran oleh “Tuhan” Yesus sewaktu masih hidup, Lebih mustahil lagi jika natal diajarkan oleh Yesus sesudah mati disalib seperti yang mereka yakini. Menurut sejarah, ritual natal memang tidak pernah dirayakan oleh murid-murid Yesus maupun penganut Kristen diabad-abad awal masehi. Natal baru ditradisikan oleh Paus Liberius di Roma sejak abad ke empat, tepatnya tahun 336 Masehi.

Boleh dibilang ritual natal adalah sesuatu yang baru alias mengada-ada alias orang Kristen bilang bidat. Kalau dalam syariah Islam, ibadah dan perayaan / syiar agama yang mengada-ada, yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya itu termasuk perkara bid’ah. Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa setiap yang bid’ah (mengada-ada) itu dhalalah /sesat (secara bahasa ada bid’ah hasanah tetapi secara syar’I tidak ada yang namanya bid’ah hasanah) dan setiap yang sesat itu pastilah bermuara ke neraka.

Menurut isi Alkitab, Yesus selalu mengajarkan umatnya agar hanya mengikuti kehendak Bapa yaitu Allah di sorga yang mengutus Yesus. Kitab Matius pasal 7 ayat 21 menyatakan : “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. Kitab lain yaitu Yohanes pasal 5 ayat 30 menyatakan : “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.

Bisa disimpulkan bahwa ritual perayaan natal bagi umat Kristen pastilah menyimpang dari kehendak Bapa , berarti juga mendurhakai Yesus yang mereka pertuhankan. Ajaran Yesus untuk selalu mengikuti kehendak Bapa, tidak digubris umat Kristen. Terbukti mereka tetap saja melaksanakan natal setiap tahunnya walaupun bukan kehendak Bapa alias hanya kehendak / ajaran manusia.

Selain tidak mengikutin kehendak Bapa, ritual natal yang tidak ada tuntunannya di Alkitab juga melanggar larangan yang ada di Alkitab untuk tidak menambah atau mengurangi apa yang tercantum di Kitab Suci. Silahkan buka Alkitab Perjanjian Lama, Kitab Ulangan pasal 12 ayat 32 yang menyatakan : “Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu lakukan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya.” Maka pantaskah kalau natal disebut sebagai suatu bentuk kebaktian kepada Tuhan ? Bahkan melaksanakan natal sendiri adalah bentuk ketidak-taatan kepada kehendak Tuhan dan pelanggaran isi Alkitab yang notabene mereka yakini sebagai Firman Tuhan.

NATAL VS AL WALA’ WAL BARA’

Sangat disayangkan dikalangan umat Islampun banyak sekali yang belum kuat akidahnya. Tidak banyak paham tentang Kristen maupun natal sehingga salah sikap dalam merespon natal. Demi meraih simpati dan dukungan, Politikus : Cagub, Cawali, Cabup, Caleg, Pengurus Partai, ramai-ramai pasang spanduk “Selamat Natal”. Termakan jargon toleransi dan pluralisme, Pejabat dan Tokoh muslim rela jadi penggembira bahkan memberi sambutan dalam Natal . Demi pekerjaan, karyawan pusat perbelanjaan rela didandani ala badut sinterklas, Demi bingkisan natal, kaum dhuafa rela jadi penggembira dan turut bersukacita dalam Natal. Demi bisnis, rumah makan; kantor; toko / ruang bisnis apapun disulap tuk menyemarakkan natal. Demi persahabatan, menjaga relasi, menunjukkan simpati, maka muslim gaul menebarkan : SMS, kartu ucapan dan parcel Natal.



Gambar di atas menunjukkan seorang muslimah berjilbab sowan kepada romo / pastur Katolik untuk berjabat tangan mengucapkan “Selamat Natal”, sebagai wujud kasih sayang, turut bergembira atas lahirnya “Tuhan” Yesus Kristus Sang Juru Selamat Penebus Dosa. Mungkin muslimah tersebut ingin memanfaatkan momentum perayaan natal untuk memperbaiki citra Islam yang selalu distigmatisasi bahwa Islam adalah identik dengan kekerasan dan terorisme. Mungkin juga ia ingin menunjukkan pada dunia bahwa Islam itu rahmatan lil alamin dengan arti seperti yang ia pahami, yaitu harus bersikap baik kepada siapapun, tidak peduli hizbullah atau hizbusy-syaitan, iman atau kafir, hak atau batil, makruf atau munkar, halal mapun haram.

Tapi yang pasti muslimah tersebut tidak pernah memahami atau bahkan menutup mata tentang konsep al wala’ wal bara’, sikap loyal, pembelaan hanya kepada Allah, Rasul dan siapapun orang beriman. Sebaliknya membenci, menolak, berlepas diri, tegas terhadap kekufuran dan siapapun pendukung kekufuran.

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS Al Mujaadilah [58]:22 )

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al Fath [48]:29)

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah"… (QS Mumtahanah [60]:4)

Al wala’ wal bara’, sikap yang mustahil muncul kecuali memahami dan mengamalkan tauhid dengan benar ini, memang berat dan penuh resiko. Kebanyakan orang terutama para pejabat, tokoh dan siapapun yang lebih memilih dunia sebagai surganya pastilah tidak suka, alergi dan phobi. Lebih lebih dijaman yang sedang getol-getolnya digembar-gemborkan jargon kerukunan, persamaan, kebebasan, demokrasi, pluralisme, multikulturalisme dan seabreg tetek bengek isme-isme yang blas tidak islami sama sekali seperti sekarang ini.

Memang hidup jadi sangat riskan, repot, susah kalau menerapkan seperti Nabi Ibrahim yang menyatakan dengan tegas sikap permusuhan dan berlepas diri dengan kaumnya yang kafir sampai mereka beriman kepada Allah. Pasti banyak manusia mencibir, memusuhi bahkan oleh mereka yang KTP nya juga Islam tapi cari selamat, menggantungkan hidup pada orang kafir tidak merasa bergantung hidup kepada Allah. Padahal sikap Nabi Ibrahim yang tegas memusuhi kekafiran itu mendapat pujian, award, penghargaan bukan sekedar dari presiden, Negara maupun LSM apapun tapi dari Dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Sebaliknya sikap Nabi Ibrahim yang memohonkan ampun dosa bapaknya yang oleh kebanyakan manusia dianggap sebagai akhlak yang baik, hormat dan bakti kepada orang tua justru dicela oleh Allah karena mencoba merobah apa yang telah ditetapkan Allah bahwa bapaknya maupun siapapun orang kafir tidak berhak mendapat ampunan Allah, hanya boleh didoakan mendapat hidayah-Nya sebatas masih hidup.

Muslimah itupun tidak hirau alias tidak mau tahu bahwa apresiasi kepada kekafiran adalah mendukung menyuburkan kekafiran itu. Setiap kali ada orang yang mengikuti, meniru, terinspirasi untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah seperti yang dilakukan oleh muslimah tersebut, maka sang muslimah akan mendapat bonus dosa akibat perannya sebagai pionir, teladan, pendorong kemaksiatan kepada Allah.

Gambar yang tampak humanis di atas memang mengesankan suasana damai, rukun, toleransi dan kebersamaan antar umat beragama. Sering disebut sebagai suasana yang kondusif yang tentunya sangat disukai oleh para tokoh dan pemimpin bangsa maupun kebanyakan orang. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua yang menyenangkan adalah baik bagi kita, sebaliknya tidak semua yang tidak menyenangkan itu buruk bagi kita. Cobalah simak Firman dari Yang Maha Benar di QS Al Baqarah (2):16 berikut :

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Gambar di atas lebih tepat diberi judul “SUASANA KONDUSIF MENYONGSONG MURKA ALLAH” karena terakumulasi sekian banyak dosa akibat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Islam al. :

Dosa Musyrik Menuhankan Yesus :

Mengucapkan “Selamat Natal” berarti memberi selamat / mengapresiasi atas keyakinan keliru Kristen telah lahirnya “TUHAN” Yesus. Padahal Yesus jelas-jelas bukan Tuhan. Tuhan itu Maha Hidup, Maha Perkasa mustahil mati disalib, mustahil ada yang kuasa mencabut nyawaNya. Meskipun Tuhan karena keMaha-KuasaanNYA mampu berbuat dan berkehendak apa saja termasuk reinkarnasi menjadi manusia tetapi kalau itu dilakukan akan menafikan keMaha-Sucian Tuhan ketika sebagai manusia Ia makan, minum, dst…. Kalau kelemahan manusiawi Yesus hanyalah terjadi pada sisi kemanusiaan Yesus bukan sisi keilahian Yesus maka hal itupun menafikan kekekalan Tuhan yang mewajibkan setiap saat setiap kondisi Tuhan tidak pernah lepas dari keilahianNya.

Dosa karena mengakui / ikut bergembira atas lahirnya Tuhan selain Allah SWT adalah dosa musyrik, dosa paling besar, menyebabkan terhapusnya seluruh amal shaleh yang telah kita kumpulkan sejak baligh hingga detik itu. Kalau sampai mati tidak bertobat maka dosanya tidak akan terampuni dan jahanamlah tempatnya kelak, haram bagi musyrikin masuk jannah.

Dosa Maksiat Sentuhan Lawan Jenis Bukan Mukhrim

Berjabat tangan dengan orang bukan muhrimnya berarti maksiat. Hadist Nabi mengatakan Seorang diantara kamu ditikam kepalanya dengan jarum besi lebih baik baginya daripada bersentuhan dengan laki-laki yang tidak halal (HR Tabrani ).
Dosa Bid’ah (Mengada-ada)

Ibadah yang jelas-jelas diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saja terkadang masih banyak terbengkelai, kenapa ikutan natal yang tidak ada tuntunannya, yang jelas jelas diluar Islam alias langkah setan yang tidak boleh diikuti, karena setan itu musuh yang nyata bagi orang beriman, lihat QS Al Baqarah (2):208. ingatlah hadist Nabi riwayat Muslim “Barangsiapa beramal tanpa ada perintah dariku maka tertolak.” Dan takutlah akan dimina pertanggung-jawaban oleh Allah sesuai bunyi QS Al Israa’ (17):36 “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Dosa Menyerupai Kaum Kafir

Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan itu. Simak hadist ini : …Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka." (HR Ahmad no 4868, 4869, 5409) Muslimah yang ikut/terlibat natalan berarti menyerupai kafir Kristen berarti termasuk kafir Kristen. Padahal bagi orang kafir tempatnya Neraka Jahanam dan termasuk seburuk-buruk makhluk (QS Al Bayyinah 98:6)

Natal adalah millah Kristen, millah Nasrani. Siapa yang nekad mengikuti millah mereka maka Allah berlepas diri untuk melindungi / menolongnya. Simak ayat berikut :

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah : 120)

Dosa Pionir/ Inspirator Dosa

Dosa-dosa muslimah tersebut bisa membengkak beranak pinak. Setiap kali siapapun melakukan perbuatan dosa karena meniru, terinspirasi, terdorong oleh perbuatan muslimah tersebut maka ia mendapat bonus dosa seperti penirunya, Semakin membudaya perbuatan tersebut semakin besuar bonus dosa dikumpulkannya.

NATAL, PLURALISME dan PEMURTADAN

Dari sudut pandang kaum pluralis tentulah hal ini sangat menggembirakan, menunjukkan tumbuh berkembangnya kebersamaan, kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Tidak ada ruginya umat Islam ikut natalan bahkan murtad meninggalkan agama Islam, berpindah menganut Kristen pun tidak perlu dirisaukan. Toh bukan hanya Islam yang baik dan benar. Agama-agama lain juga baik, juga benar. Semua agama meskipun dengan jalan dan cara yang berbeda-beda toh sama-sama menuju Tuhan yang sama dan juga sama-sama berhak masuk surga.

Sungguh betapa berbahayanya pandangan kaum pluralis. Demi perdamaian, kerukunan semu dan menyenangkan orang yang oleh Allah dicap kafir, penentang Allah dan Rasul-Nya, mereka membutakan mata, menulikan telinga, mematikan nuraninya untuk menerima ayat-ayat Allah yang dengan tegas gamblang menetapkan bahwa satu-satunya agama dari sisi Allah hanyalah Islam (QS 3:19). Satu-satunya agama yang telah sempurna dan diridloi Allah Maha Kuasa (QS 5:3) hanyalah Islam. Selain Islam tegas dikatakan sebagai langkah setan (QS 2:208), ditolak Allah dan diakherat sebagai golongan yang rugi alias penghuni neraka jahanam (QS 3:85).

Sudut pandang Islam yang menyandarkan segala sesuatu berdasar Al Qur’an dan As Sunah ternyata bertolak belakang 180 derajat dibanding sudut pandang kaum pluralis. Meskipun banyak dari mereka digelari cendekiawan muslim tetapi jauh dari nilai-nilai Islami. Mereka apriori mereferensi Al Qur’an dan As Sunah sebaliknya lebih bangga, lebih merasa hebat kalau menyandarkan segalanya kepada apa kata pakar barat yang terkesan lebih ilmiah padahal jauuuh dari hidayah Allah dan kafir alias musuh Allah, musuh Rasul dan musuh orang-orang mukmin.

Menurut Islam, keterlibatan muslim dalam natal hanyalah menimbulkan kemudlaratan luar biasa , Keterlibatan muslim dalam natal bisa dikatakan sebagai wujud kasih sayang , apresiasi dan dukungan terhadap kaum kafir dan kekafiran yang tentu sangat merugikan dan membahayakan akidah umat Islam. Lebih jauh bahkan bisa menjerumuskan mereka kedalam kemurtadan.

Sms berikut adalah tanggapan dari aktifis Gereja GBI Keluarga Allah Widuran Solo atas sms penulis yang memperingatkan agar umat Kristen tidak mengajak/ memprovokasi umat Islam ikutan natalan. Pembaca bisa menangkap sinyal yang kuat bahwa mereka memang mengakui adanya kristenisasi / pemurtadan lewat momentum natal.

… Anda itu ya lucu kalau tidak melibatkan or. Islam kaum muslimin dan muslimat, kristenisasi bisa macet to yo. Anda juga telat ngancamnya tak beri tahu pertengahan nov undangan dah siap, 25 nov dah disebar mulai 1 des kita tinggal follow up sj mngingatkan spy datang gtu ? anda bisa apa !

Lho natal ini sy bawa banyak anak kecil ke greja, ya anaknya ngikut ngaji tpa sih tapi pengin dapat hadiah natal. Jadi sy bilang sj kalau mau ke greja pasti dpt hadiah.…

tdk skedar nyuruh dtg aja tp kita jmput antar pulang, masih kita bri bngkisan smbako, uang dpt makan, or islam mesti mau dong?. Di greja nanti jg pujian, sukacita, saat pas untuk kristenisasi…

URGENSI MEMAHAMI KEBATILAN

Tidaklah berlebihan dan bukan pula usil mengurusi agama lain ketika penulis yang seorang muslim membeberkan aneka kebatilan natal yang mana natal telah dimanfaatkan oleh gereja sebagai momentum dan sarana kristenisasi bahkan pemurtadan terhadap umat Islam.

Memahami kebatilan apapun termasuk kebatilan natal, diperlukan agar umat Islam mampu mewaspadai dan terhindar dari dampak buruknya. Bagi umat Kristen yang ikut membaca tulisan ini, jangan buru-buru naik pitam tetapi cobalah renungkan benar tidak isinya. Jangan sampai maunya berbakti kepada Tuhan ternyata justru membuat murka Tuhan karena justru menyelisihi kehendak bahkan melanggar larangan Tuhan. Penulis bertanggung jawab dan siap mendiskusikan / berdialog dengan siapapun terkait tulisan ini.

Bagi setiap mukmin dan siapapun orang jujur pecinta kebenaran, mari sebarluaskan seluas-luasnya tulisan ini sebagai wujud tanggung jawab pembentengan akidah yang sangat relevan dengan tugas mukmin sejati untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar (QS 3:110) , menjaga diri dan keluarga dari neraka (QS 66:6), tidak mencampuradukkan yang hak dengan yang batil (QS 2:42). [muslimdaily.net]

Lagu Qasidah Natal Jangan Disangka Nasyid Islam

Jumat, 17 Desember 2010

0 komentar
JAKARTA (voa-islam.com) - Metro TV akan menayangkan perayaan Natal yang salah satu lagunya berbahasa Arab. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta panitia lebih berhati-hati. Lagu Natal berbahasa Arab bisa disalahpahami.

"Kalau di Indonesia ada kidung berbahasa Arab, nanti disangka qasidah oleh masyarakat Islam. Apalagi di pedesaan," kata Ketua MUI Amidhan melalui telepon, Kamis (24/12/2009).

Menurut Amidhan, umat Nasrani di Timur Tengah tentu saja berbahasa Arab saat misa di gereja. Mereka yang tidak memahami bahasa Arab tidak bisa membedakannya dengan khutbah di masjid.

"Nah, kalau memang ingin membumikan bahasanya, kenapa tidak memakai bahasa yang ada di Indonesia. Misalnya bahasa Madura, Jawa atau Sunda," papar Amidhan.

Amidhan menjelaskan bahasa Arab bukan monopoli umat Islam. Namun di Indonesia bahasa Arab banyak digunakan dalam istilah-istilah yang diasosiasikan dengan Islam.

Dia menjelaskan pernah ada protes masyarakat soal Madrasah Alkitab, tapi maksudnya Al Kitab itu Injil. Padahal madrasah itu identik dengan sekolah Islam.

"Jadi yang mendesain acara harus hati-hati. Walaupun cuma lagu, itu bisa memancing. Panitia harus menjelaskan alasan mereka menampilkan lagu berbahasa Arab dalam acara itu," pungkas Amidhan.

Rencananya, Metro TV akan merelay acara perayaan Natal yang sudah digelar di Istora Senayan. Penayangan ini rencananya pada Jumat, 25 Desember 2009 pukul 15.05 WIB. Akan ada satu lagu dari trio penyanyi Palestina yaitu Jingle Bells berbahasa Arab.

MUI Pamekasan Khawatirkan Natalan Berbahasa Arab

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan mengkhawatirkan rencana perayaan Natal yang akan memakai bahasa Arab. Acara yang akan ditayangkan salah satu stasiun TV swasta ini dinilai bisa mendatangkan salah paham.

"Saya khawatir jika bahasa Arab dipakai sebagai bahasa pengantar Natalan akan terjadi ekses yang tidak diinginkan bersama," jelas Sekretaris MUI Pamekasan, Alwi Beq, di Pamekasan, Kamis (24/12/2009).

Menurut Alwi, bahasa Arab memang bukan monopoli umat Islam. Umat Nasrani di Libanon, Suriah, Iran dan Irak tidak dipermasalahkan berbahasa Arab dalam khotbah misa Natal.

Namun, di Indonesia, hal ini menjadi berbeda. Umat muslim Indonesia masih menghormati bahasa Arab sebagai milik umat Islam. Meski demikian, khotbah Jumat pun dilakukan dengan bahasa Indonesia kecuali pada pembukaan dan doa.

"Jadi, tidaklah jelek jika misa Natal juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar khotbah. Sebagai bentuk penghormatan kepada bahasa nasional," saran Alwi.

Itu sebabnya, Alwi bertanya-tanya apakah ada maksud khusus dari gereja yang akan menggunakan bahasa Arab dalam acara Natal. Apalagi acara ini akan disiarkan televisi nasional.

"Sebaiknya Menteri Agama memberikan masukan terkait acara Natal berbahasa Arab tersebut. Ini semua untuk terciptanya kerukunan kehidupan beragama di negeri kita ini," pungkas Alwi.

Empat Kekeliruan Menyambut Muharram

Jumat, 10 Desember 2010

0 komentar
Kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw di bulan Muharram. Apa hukum perayaan bulan Muharam?


***

Assalamu’alaikum. Ustad, biasanya setiap Muharram di berbagai tempat diperingati perayaan. Ada yang mengadakan pengajian atau menggelar serangkaian acara. Bahkan di beberapa tempat, kaum Syiah menggelar peringatan peristiwa Karbala.

Sebebarnya, bagaimana sikap Islam dalam menyambut bulan Muharram in?

Sekian, terima kasih. [Ahmad-Surabaya]

***

Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Bulan Muharam adalah bulan yang muliah. Namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya. Bahkan lebih banyak salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram." (Q.S. at Taubah :36).

Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.

Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra, bahwasanya ia berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “( HR Muslim )

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ? Jawabannya : Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah saw belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

عن أبي هريرة t قال : قال رسول الله r : ( أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم ، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة صلاةُ الليل )

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim)

Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “ Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa.”(HR Bukhari dan Muslim)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : "Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda :"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).

Begitu juga hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyura’, dan berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat Ibnu Abbas lainnya disebutkan : “Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“

Apa keutamaan puasa pada hari Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas pada hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus dosa-dosanya yang telah dikerjakan selama satu tahun sebelumnya, sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Qatadah ra, bahwasanya seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa ‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )

Dosa-dosa yang dihapus disini adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim harus bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah swt.

Adapun hikmah puasa Asyura’ adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan pengikutnya serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Ibnu Abbas di atas.

Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram

Di dalam menghadapi Tahun Baru Hijriyah, sebagian kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan tersebut bisa dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah :

1. Menjadikan tanggal 1 bulan Muharram sebagai hari raya kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan cara saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan sholat tahajud dan doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada waktu itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah saw bertanya: Dua hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari, dimana kami pernah merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw bersabda : “ Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya dengan yan lebih baik: yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasai )

Begitu juga, merayakan tahun baru adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari Asyura.”

2. Menjadikan tanggal 10 Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia telah mengumumkan bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama bulan Muharram. Ritual meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul tangan-tangan mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang lain melukai badan mereka dengan rantai.

3. Menjadikan malam 1 Muharram untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan menyaksikan ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik dan bid’ah dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.[www.arrahmah.com]

Fatwa Ulama tentang Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah

Rabu, 08 Desember 2010

0 komentar
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad kepada keluarganya, para sahabatnya dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Amma ba’du:

Para pembaca yang dirahmati Allah,

Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 1431 Hijriyah dan akan memasuki tahun baru hijriyah 1432, sebagian besar kaum muslimin telah mempersiapkan perayaan untuk tahun baru Islam tersebut, di antaranya dengan bertukar ucapan selamat satu sama lain maka apa kedudukan ucapan selamat tahun baru hijriyah dari sisi syar’i?

Di bawah ini kami mengutip beberapa fatwa ulama besar dalam seputar tahun baru:

1. Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz rahimahullah

Syaikh Bin Baz pernah ditanya:

Kami pada permulaan tahun baru hijriyah, dan sebagian orang saling bertukar ucapan selamat tahun baru hijriyah, mereka mengucapkan: (setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan), maka apa hukum syar’i terkait ucapan selamat ini?

Syaikh Bin Baz menjawab sbb:

Ucapan selamat tahun baru hijriyah kami tidak mengetahui dasarnya dari para Salafus Shalih, dan saya tidak mengetahui satupun dalil dari sunnah maupun Kitabullah yang menunjukkan pensyariatannya, tetapi siapa saja yang memulaimu dengan ucapan itu maka tidak mengapa kamu menjawabnya seperti itu, jika dia mengatakan: setiap tahun semoga anda dalam kebaikan maka tidak mengapa kamu menjawabnya semoga anda seperti itu kami memohon kepada Allah bagi kami dan bagimu setiap kebaikan atau semacamnya, adapun memulainya maka saya tidak mengetahui dasarnya.

2. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan 1:

Syaikh Utsaimin pernah ditanya mengenai ucapan selamat tahun baru hijriyah dengan pertanyaan sbb:

Syaikh yang mulia, apa hukum mengucapkan selamat tahun baru hijriyah? Dan apa kewajiban kita kepada orang yang mengucapkan selamat tahun baru hijriyah kepada kita?

Syaikh Utsaimin menjawab sbb:

Jika seseorang mengucapkan selamat kepadamu maka jawablah, tapi jangan kamu memulainya. Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini. Seandainya seseorang mengucapkan mengucapkan selamat tahun baru kepadamu, maka jawablah: semoga Allah menyampaikan selamat kebaikan untukmu dan menjadikannya tahun kebaikan dan keberkahan.

Tetapi ingat, jangan kamu memulainya karena saya tidak mengetahui adanya riwayat dari para Salafus Shalih bahwa mereka dahulu mengucapkan selamat tahun baru hijriyah. Bahkan para Salaf belum menjadikan bulan Muharram sebagai awal tahun baru kecuali pada masa khilafah Umar bin Khatthab radhiyallahu anhu. (dikutip dari pertemuan bulanan ke-44 di akhir tahun 1417 H).

Pertanyaan 2:

Syaikh Utsaimin juga pernah ditanya: Syaikh yang mulia, apa pendapat anda mengenai tukar menukar ucapan selamat pada awal tahun baru hijriyah?

Maka Syaikh Utsaimin menjawab sbb:

Aku berpendapat bahwa memulai ucapan selamat pada awal tahun baru hijriyah tidak mengapa, namun tidak disyariatkan. Artinya, kami tidak menyatakan sunnahnya saling menyampaikan ucapan selamat tahun baru hijriyah.

Tetapi jika mereka melakukannya tidak mengapa, namun sepatutnya juga apabila dia mengucapkan selamat tahun baru dengan memohon kepada Allah supaya menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan keberkahan, lalu orang lain menjawabnya. Inilah pendapat kami dalam masalah ini yang merupakan perkara kebiasaan dan bukan termasuk perkara ibadah.

(Disampaikan pada pertemuan terbuka ke-93 hari Kamis, 25 bulan Dzulhijjah tahun 1415H).

Pertanyaan 3:

Pada kesempatan lainnya, beliau juga pernah ditanya: Apakah boleh mengucapkan selamat awal tahun baru?

Maka beliau menjawab: Ucapan selamat atas kedatangan tahun baru hijriyah tidak ada dasarnya dari perbuatan para Salafus Shalih. Maka kamu jangan memulainya, tetapi jika seseorang mengucapkan selamat kepadamu jawablah, karena ini sudah menjadi kebiasaan di tengah-tengah manusia, meskipun fenomena ini sekarang berkurang, karena sebagian orang sudah memahaminya, alhamdulillah. Padahal sebelumnya mereka saling bertukar kartu ucapan selamat tahun baru hijriyah.

Pertanyaan 4:

Pertanyaan lainnya kepada Syaikh Utsaimin: Apa bunyi ucapan yang saling disampaikan manusia?

Beliau menjawab: yaitu mereka mengucapkan selamat atas datannya tahun baru, dan kami memohon kepada Allah mengampuni yang telah berlalu pada tahun kemarin, dan supaya memberikan pertolongan kepadamu untuk menghadapi masa depan atau semacam itu.

Pertanyaan 5:

Syaikh Utsaimin ditanya: Apakah diucapkan “Setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan?”

Beliau menjawab: Tidak, setiap tahun semoga kalian dalam kebaikan tidak diucapkan dalam Idul Adha maupun Idul Fitri atau di tahun baru.

(Disampaikan pada pertemuan terbuka ke-202 pada hari Kamis, 6 Muharram tahun 1420H).

3. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah

Beliau pernah ditanya: Syaikh yang mulia semoga Allah memberikan anda taufik. Kebanyakan manusia saling mengucapan selamat tahun baru hijriyah. Apa hukum ucapan selamat tahun baru hijriyah, misalnya: ‘Semoga menjadi tahun bahagia,’ atau ucapan: ‘Semoga kalian setiap tahun dalam kebaikan.’ Apakah ucapan ini disyariatkan?

Syaikh menjawab sbb:

”Ini adalah bid’ah. Ini bid’ah dan menyerupai ucapan selamat orang-orang Kristen dengan tahun baru Masehi, dan ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan para Salaf. Selain itu, tahun baru hijriyah adalah istilah para shahabat radhiyallahu anhum untuk penanggalan muamalat saja. Mereka tidak menganggapnya sebagai hari raya dan mereka mengucapkan selamat atasnya karena ini tidak ada dasarnya. Para shahabat menjadikan tahun hijriyah untuk penanggalan muamalat dan mengatur muamalat saja”.

4. Syaikh Abdul Karim Al-Khidhir

Doa kepada sesama muslim dengan doa umum yang lafalnya tidak diyakini sebagai ibadah dalam beberapa peringatan seperti hari-hari raya tidak mengapa, apalagi apabila maksud dari ucapan selamat ini untuk menumbuhkan kasih sayang, menampakkan kegembiraan dan keceriaan pada wajah muslim lain.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak memulai ucapan selamat, tapi jika seseorang memulai dengan ucapan selamat maka aku suka menjawabnya karena menjawab ucapan selamat itu wajib. Adapun memulai ucapan selamat tidak ada sunnah yang diperintahkan dan juga bukan termasuk perkara yang dilarang.

KESIMPULAN:

1. Dari beberapa fatwa di atas dapat dipahami bahwa sebagian ulama besar membolehkan menjawab ucapan selamat saja tidak untuk memulainya, namun tidak menganggapnya perkara bid’ah yang besar karena itu adalah adat kebiasaan, bukan diyakini sebagai ibadah yang disyariatkan.

2. Sebaiknya kita menjelaskan kepada umat bahwa hal itu tidak ada dasarnya sehingga mereka tidak berlebih-lebihan dalam ucapan selamat tahun baru hijriyah. Karena hal itu dikhawatirkan bisa terjatuh dalam perkara bid’ah dan menyerupai kaum Nasrani sebagaimana fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah.

3. Kita tidak disyariatkan untuk merayakan tahun baru hijriyah seperti perayaan hari raya (ied), karena perayaan sebagai bentuk ibadah dan ibadah sifatnya tauqifiyah. Wallahu a’lam bis-shawab. [ar/voa-islam.com]