dimuat di buletin BM Barokah Edisi 16 April 2016
SYARAH HADITS ARBAIN KE-11 Meninggalkan Hal-hal yang Masih Samar Kehalalannya
Senin, 18 April 2016
Label:
Baitul Mal,
Buletin,
Hadits
Dari Abu Muhammad,
Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dan kesayangan beliau radhiallahu 'anhuma telah berkata: “Aku telah menghafal
(sabda) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang
meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu“. (HR.
Tirmidzi dan dia berkata: Ini adalah Hadits Hasan Shahih)
SYARAH /
PENJELASAN
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hasan putra Ali bin Abi Tholib radhiyallaahu
‘anhuma, cucu Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau dinyatakan oleh
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam:
Putraku (cucuku) ini adalah pemuka (sayyid), dan semoga Allah akan
mendamaikan dengan sebabnya 2 kelompok kaum muslimin (H.R al-Bukhari)
Terbukti, sikap beliau yang mau mengalah dan menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah menyebabkan 2 pasukan besar: dari Iraq dan pasukan dari Syam
berdamai dan tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika Nabi shollallaahu ‘alaihi
wasallam meninggal, al-Hasan bin Ali masih berumur 7 tahun.
Dari hadits yang diriwatkan Al Hasan ini dapat diambil beberapa hikmah
antara lain:
1.
Meninggalkan
hal-hal yang masih samar kehalalannya
Hadits ini merupakan dalil yang memberikan panduan bagi muslim untuk
meninggalkan hal-hal yang masih samar (syubhat) dan meragukan. Sebagai contoh,
jika ada suatu makanan atau harta yang kita ragu kehalalannya, maka
tinggalkanlah, hingga kita yakin akan halalnya.
Semakna dengan hadits:
Barangsiapa yang menjaga diri dari syubuhat, maka ia telah membersihkan
agama dan kehormatannya (H.R alBukhari)
2.
Keyakinan dalam
Berbuat dan Kelapangan Jiwa
Seorang muslim membangun keyakinan dalam hatinya ketika berbuat. Karena
itu, ia kokohkan ilmunya sebelum berbuat, sebab ilmu adalah landasan amal. Jika
ada yang tidak ia pahami, ia tanyakan kepada orang yang berilmu sehingga ia
mantap untuk beramal di atas keyakinan. Semakin bertambah keilmuan seseorang,
semakin berkurang jumlah hal-hal yang meragukannya dalam syariat.
Ia juga tidak mau larut pada kasak-kusuk maupun isu yang tidak jelas
jika ada saudaranya yang dicurigai. Ia akan melakukan tabayyun secara beradab
hingga ia mendapat kepastian dan keyakinan dalam berbuat. Segala bentuk
keraguan ia tinggalkan.
Ia akan berusaha bersikap jujur dan menjauhi kedustaan, karena kejujuran
akan mewariskan ketenangan, sedangkan kedustaan menghasilkan kebimbangan dan
ketidaktenangan.
Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan dusta adalah keraguan (H.R
atTirmidzi, lanjutan potongan hadits al-Hasan di atas).
Jika ia ragu pada sebuah pilihan, ia akan bermusyawarah dengan orang
yang ahli dan sholih kemudian beristikharah kepada Allah.
Penyebab kegalauan hati dan kebimbangan yang utama adalah kesyirikan.
Seorang yang syirik, akan terombang-ambing dalam ketakutan dan ketenangan yang
semu. Ketakutannya akan semakin menjadi-jadi ketika ia semakin bergantung
kepada selain Allah.
Sebagai contoh, seorang yang minta tolong kepada Jin, maka ikatannya
akan semakin kuat dan bertambah kuat. Semakin bergantung kepada pertolongan jin
itu, semakin bertambah dosa dan ketakutannya
Dan bahwasanya ada beberapa manusia laki-laki meminta perlindungan
kepada laki-laki Jin sehingga menambah kepada mereka ketakutan (Q.S al-Jin: 6)
Demikian juga orang yang menggunakan jimat, semakin bergantung pada jimat
tersebut, semakin tidak tenang jiwanya
Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menyempurnakan
keinginannya, barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), semoga
Allah tidak memberikan ketenangan padanya (H.R Ahmad, dishahihkan al-Hakim dan
disepakati oleh adz-Dzahaby, al-Haitsamy menyatakan bahwa perawi-perawinya
adalah terpercaya, al-Munawi menyatakan bahwa sanadnya shahih)
Oleh karenanya orang yang tidak beriman penuh dengan keragu-raguan dalam
jiwanya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Sesungguhnya yang akan meminta idzin kepadamu hanyalah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena
itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya (Q.S atTaubah:45)
3.
Kaidah Fiqh:
Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan
Salah satu kaidah fiqh yang dibangun dari dalil-dalil al-Quran dan
hadits adalah : al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syak (keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan). Hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak
dalil yang mendasari kaidah tersebut, untuk meninggalkan keraguan menuju hal
yang meyakinkan.
Sebagai contoh, jika seseorang ragu apakah ia sudah berwudhu’ lagi atau
belum setelah sebelumnya batal, maka yang dijadikan patokan adalah kepastian
bahwa ia sudah batal. Yang meragukan adalah berwudhu’ lagi. Keraguan tersebut
tidak diperhitungkan. Maka ia harus berwudhu’ lagi.
Sebaliknya, dalam kasus yang lain: jika ia ragu apakah sudah batal
wudhu’ atau belum, maka yang diambil adalah keyakinan bahwa ia masih suci. Batalnya
wudhu’ berdasarkan keraguan. Maka persangkaan batal wudhu’ itu hendaknya
ditinggalkan, karena berdasar keraguan. Ia tidak wajib berwudhu’ lagi kecuali
jika ia ingin berwudhu’ untuk mendapatkan keutamaan, karena tidaklah seorang
berwudhu’, kecuali akan berjatuhan dosa-dosanya ketika air wudhu’ berjatuhan
dari jari jemarinya.
Wallahua’lam bi showwabdimuat di buletin BM Barokah Edisi 16 April 2016
Langganan:
Postingan (Atom)