LAPORAN KEUANGAN BM BAROKAH Februari 2016

Selasa, 22 Maret 2016

0 komentar


I.       PENERIMAAN INFAQ
1.       Saldo Bulan Januari 2015 Rp. 300.300
2.      Donatur BM Barokah Februari 2015
 Kotak Infaq Tarjamah Lafdziyah Rp. 95.000
-          Kotak Infaq Ibu Hj Suparno / Kurnia Rp. 114.200
-          Kotak Infaq Ibu Tarno Rp. 46.200
-          Kotak Infaq Gunawan Laundry Rp. 51.200
-          Kotak Infaq Hik Bp. Paridi Rp. 68.500
-          Kotak Infaq Siti Busroniah (Alm) Rp. 50.000
-          Kotak Infaq Ibu Indri (DD) Rp. 56.500
-          Kotak Infaq Bidan Sri Hartini Rp. 62.500
-          Kotak Infaq Bidan Sarni Rp. 30.000
-          Kotak infaq kajian Aqidah Rp. 234.900
 Sisa Pengadaan Makalah Kajian Aqidah Rp. 88.000
Pengembalian Dana Santunan Dhuafa' Rp. 30.000
Subsidi Masjid Barokah  Rp. 100.000
Jumlah Penerimaan Infaq Bulan Februari                Rp. 1.327.300
II.   PENYALURAN INFAQ
1.      Santunan Pendidikan Rp. 200.000
2.      Santunan Dhuafa’ Fakir Miskin Rp. 350.000
3.      Jamkesbal Bulan Februari Rp. 60.000
4.      Mukafa’ah Ust Kajian Tarjamah Rp. 150.000
5.      Mukafa’ah Ust Kajian Aqidah  Rp. 300.000
6.      Buletin BM Barokah Edisi Februari Rp. 100.000
7.      Amil Rp. 100.000
Jumlah Penyaluran Infaq Bulan Februari  Rp. 1.260.000
Saldo Infaq Bulan Februari Rp. 67.300
III. PENERIMAAN ZAKAT
1.      Saldo Zakat Mal Bulan Januari 2015 Rp.       14.000
2.      Penerimaan Zakat Bulan Februari:
         Ibu Devi Rp. 50.000
Saldo Zakat Bulan Februari Rp. 64.000
V.   DANA TALANGAN
1.       Alokasi Dana Talangan Rp. 3.000.000
2.      Dana Talangan Keluar Bulan Februari Rp. 2.275.000
3.  Pemutihan Hutang Rp. 300.000
Saldo Dana Talangan Rp. 425.000

SYARAH HADITS ARBAIN KE-10 PERINTAH MAKAN YANG HALAL DAN MENJAUHI YANG HARAM

0 komentar

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah r.a ia berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul. Allah berfirman : Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun : 51) dan Allah berfirman : “Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah : 172) Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) ‘Ya Rob. Ya Rob’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim dalam “Shahih”nya).
Syarah (Penjelasan)
Allah hanya menerima amal yang baik
Dari Hadits di atas, kita dapat fahami bahwa tak semua amal yang dilakukan oleh manusia, diterima oleh Allah Swt. Jadi setiap orang yang beramal seharusnya juga memperhatikan hal ini. Di dalam hadits di atas Rasulullah Saw menegaskan mana amal yang diterima Allah itu, yaitu hanya amal yang baik dan yang bersih saja. Sedangkan amal yang tidak baik dan bercampur dengan hal-hal yang haram dan kotor, dipastikan amal itu tidak akan diterima oleh Allah.
Lalu apakah amal yang baik? Amal yang baik bisa berupa ucapan atau perbuatan. Ucapan yang diterima oleh Allah ialah zikrullah, tilawatul Qur’an, nasehat dan ucapan yang mengajak orang ke jalan Allah. Bukan sebaliknya ucapan kotor, dan menyebarluaskan kesesatan dan pikiran-pikiran yang bertentangan dengan dien Islam. Bukankah banyak ucapan/perkataan orang, baik disampaikan melalui obrolan, ceramah, diskusi, orasi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam? Maka ucapan semacam ini tidak akan diterima oleh Allah. Jadi pembicaraan itu akan menjadi sia-sia belaka dan orang Mukmin selalu menghaindar dari perilaku sia-sia, termasuk di dalamnya lawak lucu-lucu yang mengundang orang untuk tertawa. Perhatikan firman Allah Swt dalam Surat Fathir : “KepadaNya lah naik (disambut) perkataan-perkataan baik, dan amal yang saleh dinaikkanNya. (Fathir : 10).
Sedangkan amal perbuatan yang diterima oleh Allah adalah amal yang bersih dari segala yang mengotorinya seperti syirik, riya’ dan ‘ujub. Di samping amal itu tidak bercampur dengan benda lain yang haram.
Makanan yang Halal
Di dalam hadits di atas dengan jelas Rasulullah menekankan agar orang mukmin menghindari dan menjauhi makanan haram. Makanan haram, bisa jadi karena dua hal : 1. Benda yang dimakan itu sendiri adalah benda yang diharamkan seperti babi dan unsur-unsurnya, 2. Uang yang dikonsumsi adalah uang haram, karena diperolah dari sumber yang haram. Sungguh memprihatinkan keadaan sebagian umat Islam di negeri Muslim yang tidak peduli dengan mata pencahariannya dan uang yang diperolehnya. Mereka hidup dari yang haram. Sebagian dari merampas dan memeras uang rakyat. Sebagian hidup dari mempertontonkan aurat dan tubuhnya di depan public, bahkan menjual kehormatannya asal mendapatkan imbalan uang yang banyak. Sebagian dari transaksi bisnis yang tidak halal karena menggunakan uang riba, hasil tipuan, curang dan lainnya. Dari sumber itulah mereka hidup dan menghidupi keluarganya, bagaimana mungkin doa mereka dikabulkan oleh Allah ?
Doa-doa yang diijabah oleh Allah
Dalam hadits di atas disinggung juga soal doa. Pada dasarnya setiap hamba Allah wajib memanjatkan doa kepada Allah agar ia senantiasa berada dalam lindungan dan pemeliharaan Allah Swt. Demikian juga untuk menutup segala kebutuhannya. Namun untuk berdoa seharusnya diperhatikan pula berbagai persoalan yang terkait dengan doa, seperti apa saja yang membuat doa agar diijabah oleh Allah Swt.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah, disebutkan sabda Rasul Saw bahwa ada tiga doa yang dikabulkan oleh Allah Swt yaitu : 1. do’a orang yang sedang musafir. 2. Doa orang yang terzalimi. 3. Doa orang tua terhadap anaknya.
Begitu juga sebaliknya, ada hal-hal yang membuat doa seseorang terhalang dan tidak terkabul. Doa siapakah itu? Yaitu doa orang yang disebutkan di dalam hadits di atas.; do’a orang yang sumber kehidupannya berasal dari yang haram. Sabda Nabi : “Makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, perutnya kenyang dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya terkabul?” Kenapa demikian? Karena pekerjaan yang memberikan hasil kepadanya adalah pekerjaan haram. Di sinilah setiap orang harus melakukan introspeksi, apakah pekerjaannya sekarang termasuk yang halal atau justru yang haram. Semua ini memerlukan kejujuran. Dan semua harus diukur dengan timbangan syari’at Islam dan ditanyakan kepada yang ahlinya.yang jujur. Apabila ternyata pekerjaan itu tergolong pekerjaan yang diharamkan, maka seharusnya seorang Muslim tidak ragu-ragu melepaskannya dan mencari pekerjaan lain yang halal, kendatipun hasilnya lebih kecil dari yang ada sebelumnya. Yang harus dijadikan standar adalah kualitas pencaharian (HALAL HARAM), bukan jumlah yang dihasilkan (besar).

 Wallahua’lam bi showwab

*Sumber: hasanalbanna.com pernah dimuat di Buletin BM Barokah Edisi 15 Tahun 2016

SYARAH HADITS ARBAIN KE-9 Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan

0 komentar


Diriwayatkan dari Abu Hurayrah R.a, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda : “Apa yang kularang pada kalian, maka jauhilah perbuatan itu , dan apa kuperintahkan kepada kamu, laksanakanlah sesuai kemampuanmu. Sungguh kehancuran orang-orang sebelum kamu dahulu, adalah disebabkan karena banyaknya pertanyaan mereka dan menyalahi (membantah) nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhary dan Muslim)
Latar Belakang Munculnya Hadits :
Hadits ini mempunyai latar belakang kemunculannya. Dalam beberapa versi riwayat, seperti riwayat Muhammad Ibn Ziyad dari Abu Hurayrah, Ra, disebutkan, bahwa Rasul pernah berkhotbah yang isinya menerangkan bahwa Allah Swt mewajibkan haji kepada orang-orang Mukmin, oleh karenanya kewajiban ini harus dilaksanakan. Tiba-tiba seseorang bertanya, apakah haji dilaksanakan setiap tahun? Namun Nabi diam, tidak menjawab. Hingga orang tersebut mengulangi pertanyaannya tiga kali. Kemudian Rasul menjawab: “Kalau saya katakana ‘ya’, niscaya ia akan menjadi (setiap tahun) dan kalian tidak akan sanggup. Kemudian Rasul melanjutkan ucapannya: “Cukupkan apa yang saya tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya kehancuran orang sebelum kamu dahulu, adalah karena banyak bertanya dan menyalahi (petunjuk) Nabi-nabi mereka. Bila kuperintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka laksanakanlah menurut kadar kemampuanmu. Tetapi bila kularang dari suatu perbuatan, maka tinggalkanlah sepenuhnya.”
Dalam suatu riwayat dikatakan, maka turunlah ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’idah 101:
“Hai orang-orang beriman! Jangan kamu bertanya tentang berbagai masalah, karena jika dinyatakan (jawabannya) kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu.”
Penjelasan Hadits:
Hadits ini mengandung beberapa pengajaran, di antaranya:
1. Sikap seorang Muslim terhadap perintah dan larangan dien/syari’at (agama).
 Ada perbedaan sikap antara perintah dan larangan. Bila ada perintah dari Allah atau RasulNya, yang bersifat umum, tanpa penjelasan rincian, maka sikap Muslim adalah menjalankan perintah itu sesuai kemampuannya. Umpamanya, ada perintah melaksanakan Haji. Perintah itu tidak menentukan agar dilaksanakan setiap tahun atau berapa tahun sekali, maka seharusnya perintah itu tidak perlu ditanyakan rinciannya. Apabila dipenuhi pelaksanaannya menurut kemampuan seseorang (walau sekali), berarti perintah itu sudah dilaksanakan.
Berbeda halnya dengan larangan. Bila dien/syari’at melarang sesuatu, maka perbuatan itu harus ditinggalkan sepenuhnya, bahkan harus dijauhi. Umpamanya zina diharamkan. Maka perbuatan zina harus dijauhi dalam segala bentuknya, seperti berduaan tanpa mahram, mengunjungi tempat-tempat maksiyat, menonton film yang dapat merangsang nafsu, berpacaran, dan sejenisnya.
Akan tetapi bila sebuah kewajiban itu diterangkan dengan rinci, maka tidak dapat dilaksanakan sebatas kemampuan, melainkan harus dipenuhi standar yang diminta. Umpamanya kewajiban Shalat lima waktu. Kewajiban ini tidak dapat ditawar menjadi tiga kali shalat saja. Begitu juga kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh, tidak bisa ditawar menjadi setengah bulan, atau seminggu saja, dengan alasan sebatas kemampuan. Akan tetapi ia harus dilaksanakan sesuai dengan standar aturannya. Begitu juga lama (durasi)nya, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, tidak dapat ditawar agar kurang dari waktu itu, karena alasan kemampuan, padahal orang tersebut normal.
Kondisi tidak normal
Memang ada kalanya dalam pelaksanaan Ibadah, batas kemampuan sangat diperhatikan, yaitu bila terjadi keadaan tidak normal, seperti kesehatan, atau keadaan sulit dalam perjalanan. Hal ini didasarkan pada kaidah umum dalam Syari’at Islam yaitu ‘mudah’ dan ‘ringan’. Kaidah ini bersumber dari ayat al-Qur’an :
“Allah tidak membuat kamu menjadi sulit dalam (melaksanakan) dien.(agama)”.(al-Hajj 78).
Tampak sekali penerapan kaidah tersebut dalam pelaksanaan ibadah. Seperti keharusan berwudhu’ ketika hendak shalat. Apabila seseorang kesulitan mendapatkan air, atau air tersedia tetapi tidak dapat dipakai karena factor kesehatan, maka berdasarkan hukum syari’at, boleh menggunakan tanah atau debu (tayammum) sebagai pengganti wudhu’, Setelah bertayammum, seseorang melaksanakan shalat seperti biasa.
Begitu juga dalam pelaksanaan shalat itu sendiri. Bila seseorang tidak dapat berdiri, karena sakit, maka ia boleh sahalat dalam posisi duduk, bahkan kalau tidak mampu duduk, boleh berbaring. Bukankah ini keringanan syari’at karena mempertimbangkan keadaan pribadi seseorang.
Demikian pula dalam hal puasa. Bila seseorang berada dalam perjalanan ke luar kota (musafir), maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib mengulanginya pada hari-hari lain setelah Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkannya.
2. Masalah pertanyaan termasuk tema sentral yang diterangkan di dalam hadits di atas.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa dien ini (Islam) adalah dien yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan salah satu kunci untuk memperoleh ilmu adalah dengan bertanya. Sementara isi hadits di atas, larangan untuk banyak bertanya. Apakah di sana terdapat pertentangan? Jawabannya: “tidak”.
Bila kita perhatikan watak (karakter) sebuah pertanyaan, terdapat berbagai jenis pertanyaan. Ada pertanyaan yang wajar dan bahkan harus dimunculkan. Seseorang tidak boleh membiarkan dirinya dalam keadaan tidak tahu (jahil) terhadap dien ini. Ia harus bertanya kepada ahlinya, jika ada yang tidak diketahuinya. Tetapi ada sebagian pertanyaan yang masih jauh kemungkinan terjadinya, atau dalam kondisi normal tidak terjadi. Umpamanya bagaimana cara shalat di bulan, ke arah mana menghadap? Atau seekor kambing melahirkan babi dalam kandungannya, apakah halal atau haram? Pertanyaan ini tak perlu ditanyakan, karena tidak ada perlunya.
Ada lagi sebagian orang bertanya dalam masalah hukum, tujuannya bukan ingin mengetahui kebenaran, tetapi mencari jawaban yang sesuai dengan seleranya. Contohnya, orang yang bertanya mengenai hukum berjilbab bagi perempuan. Pertanyaan itu berulang kali ia tanyakan kepada sejumlah ahli, namun semua ahli mengatakan, berjilbab hukumnya wajib. Ketika ia berjumpa dengan orang yang mengatakan berjilbab hukumnya tidak wajib, iapun merasa senang dan mendukung, karena ia mendapatkan jawaban yang sesuai menurut seleranya, bukan menurut kebenaran. Begitu juga pertanyaan tentang larangan agama mengikuti perayaan Valenstine’s Day sebagaimana orang-orang kafir melakukannya. Di banyak kesempatan banyak bertanya tentang hukum terkait itu dengan harapan ada jawaban yang membolehkan. Maka pertanyaan untuk mencari jawaban sesuai selera semacam ini termasuk sesuatu yang tercela dan harus dijauhi.
Jadi seorang Muslim ketika bertanya, hendaknya menyiapkan dirinya menerima jawaban atas pertanyaannya selama jawaban itu didukung oleh dalil.

Abu Hurayrah berkata, Rasulullah Saw bersabda : “Allah Swt menyukai kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula; Allah suka kalau kamu menyembahNya dan tidak menyekutukan Dia dengan sesuatupun, dan berpegang teguh dengan tali Allah seluruhnya serta tidak berpecah belah. Dia benci dari kamu kata si A, kata si B, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR Muslim). Wallahua’lam bi showwab

*sumber: hasanalbanna.com pernah dimuat di Buletin Baitul Mal Edisi 14 Tahun 2016

SYARAH HADITS ARBAIN KE-8; MENEGAKKAN KEHORMATAN BERISLAM

Senin, 21 Maret 2016

0 komentar




Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu ‘Umar –radhiyallahu anhuma- bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku diperintah untuk memerangi orang sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah kecuali hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila ini telah mereka laksanakan, berarti mereka telah memelihara darah dan hartanya dari aku, kecuali apa yang ditetapkan oleh Islam dan perhitungan mereka kepada Allah”. Dilaporkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim.
Tema Utama hadits ini :
Keislaman seseorang tidak hanya diukur sebatas syahadat (kesaksian) yang ia ucapkan. Tetapi juga harus diukur pada komitmen dan pengamalan ajaran pokok Islam seperti shalat, membayar zakat. Orang yang sudah menunjukkan komitmennya, maka darah dan hartanya wajib dilindungi oleh pemerintah. Darahnya tidak boleh ditumpahkan dan hartanya tidak boleh dirampas kecuali untuk kewajiban zakat. Oleh karenanya komitmen untuk menegakkan ajaran Islam utamanya mendirikan sholat dan membayar zakat adalah bentuk menegakkan kehormatan berislam yang wajib dilakukan.
Syarah:
Rasulullah menerangkan di dalam Hadits ini bahwa ia diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk memerangi kaum Musyrikin penyembah berhala hingga mereka bersyahadat dan menjalankan ajaran Islam.
Mungkin kalau ha.dits ini dibaca oleh orang di luar Islam, apalagi mereka yang sudah menyimpan kebencian pada Islam, mereka akan langsung menunjuk hadits ini sebagai ajakan untuk memaksa orang di luar Islam untuk masuk Islam. Padahal sebenarnya faktanya tidak demikian. Islam tidak memaksa manusia untuk masuk Islam. Oleh karenanya hadits ini harus dijelaskan sebaik mungkin dan dalam konteks ajaran Islam yang universal.
Harus diketahui bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah menghapuskan syirik (penyekutuan terhadap Allah) dari muka bumi dan menyebarluaskan Islam sebagai agama Tauhid ke seluruh penjuru dunia. Ini sebuah hakikat yang tidak dapat ditawar-tawar. Rasulullah diperintah Allah untuk memerangi kemusyrikan dan kaum Musyrikin di sekitar jazirah Arab. Jadi yang dimaksud dengan “manusia” di dalam hadits itu adalah penyembah berhala dan kaum Musyrik Arab dahulu pada zaman Nabi.
Adapun ahlul kitab, tidak termasuk di dalam hadits ini. Peperangan terhadap mereka pada zaman Nabi dikarenakan mereka bersekongkol (konspirasi) dengan kaum Musyrik Makkah untuk menyerang kaum Muslimin di Madinah. Bukan karena mereka sebagai ahlul kitab yang tidak masuk Islam. Jadi, syirik atau paganisme (penyembahan berhala) tidak boleh ada setelah Nabi saw dibangkitkan menjadi Rasul. Peperangan yang berlangsung pada masa Rasul umumnya adalah peperangan melawan mereka (kaum Musyrikin). Inilah yang dijelaskan oleh Hadits ini.
Kenapa mereka diperangi? Ini adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Nabipun hanya menjalankan perintah Allah Swt. Nabi tidak berhak merubah sedikitpun ketentuan yang telah menjadi ketetapan dari Allah Swt.
Namun orang yang sudah bersyahadat dan berikrar menjadi Muslim, tidak boleh dibiarkan mengabaikan salat, atau tidak membayar zakat. Apabila mereka tidak menjalankan kewajiban itu, terhadap mereka harus diambil tindakan tegas oleh pemerintahan Islam. Sebagaimana dulu sikap Abu Bakar ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu- pada masa kekhalifahannya terhadap pembangkang zakat, beliau memerangi kelompok itu dengan senjata. Lalu ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan beliau, “kenapa Anda memerangi orang yang sudah berikrar “La Ilaaha illallaah” padahal Rasul Saw mengatakan : “Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi Tiada Tuhan kecuali Allah..” Kemudian Abu Bakar menjawab, “Sungguh zakat adalah kewajiban terhadap harta. Demi Allah kalau mereka menolak membayar zakat yang dulu mereka bayar kepada Rasulullah, niscaya aku perangi mereka.” Lalu ‘Umarpun mengikuti kebijakan Abu Bakar itu.
Perlindungan dari Negara :
Dalam hadits ini juga diterangkan, apabila seseorang yang telah bersyahadat dan menunaikan kewajiban utamanya, maka ia berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam. Darah dan hartanya tidak boleh diusik oleh siapapun. Maksudnya, darahnya tidak boleh tertumpah dan hartanya tidak boleh diambil siapapun, termasuk oleh Negara, selama orang tersebut tidak melakukan tindakan kejahatan yang mengakibatkan dia dihukum. Tetapi bila ia membunuh, menganiaya orang lain, maka hukum Qisas tetap berlaku.
Berbeda halnya di zaman sekarang, seseorang tidak mendapatkan rasa aman pada jiwa dan hartanya. Sewaktu-waktu nyawa bisa melayang, karena ditembak, atau dianiaya, dengan alasan yang tak jelas, atau tidak melalui peradilan resmi. Berapa banyak orang yang berseberangan dengan penguasa, tidak sepaham dengan penguasa, hidupnya terancam, ia hilang tiba-tiba, diculik, ditembak, dianiaya, dan seterusnya. Hartanya dirampas, dikuasai, disita dan seterusnya. Ini tidak terjadi dalam Negara yang didasarkan pada syari’at Allah.
Berbeda pendapat adalah hal biasa dalam Islam selama tidak menyangkut soal yang prinsip, aqidah dan hal-hal yang qath’i (pasti). Apalagi perbedaan itu sebenarnya bertitik tolak dari persamaan tujuan ingin kebaikan umat dan Negara. Perbedaan ini di dalam Islam sangat dihargai.
Demikian juga di dalam hadits ini diterangkan bahwa manusia baik sebagai individu atau sebagai badan hukum (Negara), hanya bisa menilai dan mengadili manusia dalam hal yang zahir saja, dalam sikap yang tampak seperti ucapan dan tindakan. Adapun hal-hal yang menyangkut batin, tersembunyi di dalam hati dan pikiran, seseorang tak bisa dihukum.
Wallahua’lam bishowab
Sumber: hasanalbanna.com

SYARAH HADITS ARBAIN KE-7 "Agama Adalah Nasehat"

Jumat, 18 Maret 2016

0 komentar

Diriwayatkan dari Tamim ad-Dary –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : ” Dien adalah nasehat”. Kata kami : untuk siapa?. Sabda beliau : “Nasehat untuk Allah, Kitabullah, RasulNya, pemimpin-pemimpin kaum Muslimin dan sesama mereka.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :
Tema sentral hadits ini adalah soal Nasehat. Inti dien ini adalah nasehat. Nasehat di dalam hadits ini biasa diartikan ketulusan jiwa terhadap pihak yang dinasehati; agar mengetahui kewajibannya kepada Allah, kepada kitabullah, kepada Rasulullah. Nasehat sedemikian penting dalam kehidupan umat Islam. Umat tidak boleh hidup cuek (La Mubalaah), tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, membiarkan apa saja terjadi, tanpa peduli. Setiap Muslim harus bersedia menasehati dan siap pula dinasehati.
Penjelasan :
1. Sungguh nasehat merupakan hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kadang suatu bencana, malapetaka, musibah atau kerusakan tidak terjadi jika program nasehat ini berjalan baik. Dalam bahasa popular, nasehat ini bisa diterjemahkan sebagai pengendali sosial (social control).
Hadits ini menerangkan jenis nasehat itu beragam dan tidak hanya searah. Rasulullah juga merinci isi nasehat yakni untuk Allah, al-Qur’an dan Rasulullah. Dimensinya juga dirinci, ada nasehat kepada pemimpin sebagai nasehat dari bawah ke atas (bottom up), di samping nasehat yang bersifat horizontal, antar sesama Muslim. Sistem ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup.
Kata dien juga bisa berarti amal, dan oleh karena amal inilah,hal ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup. dien disebut sebagai nasehat.
Saking pentingnya hadits ini oleh sebagian Ulama kedudukannya dikategorikan seperempat dien (agama). Demikian kata Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusy. Bahkan kata Imam Nawawy hadits ini mencakup seluruh sasaran dien, sebab dien ini terangkum dalam poin-poin yang dijabarkan oleh hadits ini.
2. Nasehat untuk Allah (Nasihat Lillah)
Apa yang dimaksud dengan Nasehat untuk Allah? Maksudnya adalah beriman kepada Allah, tidak mensekutukanNya, tidak mengingkari sifat-sifatNya, menjauhkanNya dari berbagai kekurangan, mentaatiNya, menjauhi maksiat padaNya,
3. Nasehat demi Kitab Allah (Nasihat Likitabillah)
Maksud nasehat Likitabillah adalah mengimani al-Qur’an sebagai kalam Allah yang tidak serupa dengan kalam manusia manapun. Tak seorangpun yang sanggup menandinginya. Juga berarti berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Juga berarti mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an, mendakwahkan isinya, dan membongkar kepalsuan orang-orang yang menyalahgunakannya.
4. Nasehat demi Rasulullah (Nasihat Li Rasulillah)
Nasehat untuk Rasul maksudnya mencontoh prilakunya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan hadits-haditsnya, mencintai Rasul dan keluarganya, menyampaikan nasehat atau pesan kepada orang agar berpegang kepada petunjuk-petunjuknya Saw.
5. Nasehat untuk Pemimpin (Nasihat Li A’immatil Muslimin)
Nasehat jenis ini menyangkut nasehat yang berdimensi vertical, dari rakyat kepada pemimpinnya. Inilah yang sering dilupakan kaum Muslimin, termasuk para ‘Ulama. Dari hadits ini kita ketahui bahwa Islam mengajarkan keharusan setiap Muslim menyampaikan nasehat kepada pemimpin mereka agar jangan sampai, kedudukan pemimpin yang berada di “atas” membuat rakyatnya takut menyampaikan nasehat. Akibatnya membuat pemimpin lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Allah Swt. Akhirnya mereka berbuat sesuka hatinya, memaksakan kemauannya dan menzalimi rakyatnya. Atau dalam bahasa kontemporer disebut pemimpin yang otoriter. Untuk mencegah hal itulah, sistem nasehat secara timbal balik perlu dijalankan. Jadi hadits ini bisa diartikan sebagai perintah agar perjalanan kepemimpinan harus diawasi dan tidak dibiarkan berjalan sendiri.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurayrah berkata, Rasulullah bersabda :
 “Allah menyukai dari kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula : Allah meridhoi kalau kamu beribadah kepadaNya, tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an) seluruhnya, tidak berpecah belah, dan kamu sampaikan nasehat kepada pemimpin yang Allah berikan kepadanya kekuasaan memimpin kamu. Allah membenci dari kamu: mengutip ucapan si A dan ucapan si B (berpaling dari petunjuk wahyu kepada ucapan manusia), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” Riwayat Ahmad, Malik, Bukhari dalam al-adab al-mufrad.
Namun menasehati pemimpin sudah barang tentu mempunyai etika sendiri, tidak semaunya saja, sehingga meruntuhkan martabatnya, melukai harga dirinya di depan umum. Kepada sesama Muslimpun itu tidak diperkenankan, apalagi kepada pemimpin.
Masih dalam konteks menasehati pemimpin, berikut ini kami kutipkan penjelasan dari seorang ‘alim salaf, Abu Utsman yang lebih rinci bagaimana menjalankan program nasehat kepada pemimpin ini.
Abu Utsman berkata : “Nasehatilah pemimpin, perbanyaklah doa untuk dia demi kebaikan dan kecerdasannya dalam perkataan, perbuatan dan memerintah. Sebab jika mereka baik, manusia ikut menjadi baik gara-gara mereka. Jangan sekali-kali engkau mendoakan kecelakaan mereka, sehingga keburukan mereka akan semakin parah dan bala akan semakin menimpa kaum Muslimin. Akan tetapi doakanlah mereka agar bertaubat, sehingga mereka meninggalkan keburukan dan terangkat pula bala’ (bencana) dari kaum Mukminin. Jangan engkau mendatangi mereka, atau sengaja mengada-ada untuk menjumpai mereka, atau engkau suka kalau mereka mendatangimu, dan berusahalah untuk lari dari mereka sedapat mungkin selama mereka mengerjakan keburukan. Jika mereka bertaubat, meninggalkan kejahatannya dalam perkataan, perbuatan, dan hukum kemudian mereka mengambil dunia dari pintunya yang benar, itulah yang diharapkan. Jangan engkau mencari kemuliaan dari mereka, agar supaya engkau jauh dari mereka, namun tetap dekat dengan kasih sayang serta nasehat terhadap mereka, insya Allah.”
‘Ulama sebagai pemimpin umat dalam wilayah dien, harusnya mengambil peran sebagai pemberi nasehat. Bukan sebagai penyair yang memuja-muji prilaku pemimpin. Kalau perlu mengkritik sikap yang keliru dari pemimpin, supaya kekeliruan itu tidak terus menerus berkelanjutan. Padahal contoh keteguhan sikap Ulama dalam sejarah Islam sangat kaya. Mereka rela pindah tidur ke sel penjara, demi menyuarakan kebenaran. Mereka rela dikucilkan dan difitnah penguasa demi mencari ridho Allah Swt. Imam Ahmad ibn Hanbal, mendekam di penjara hingga meninggal di dalamnya, karena keteguhannya membela ‘aqidah yang benar di masa rezim Muktazilah. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i juga punya catatan sejarah berhadapan dengan penguasa di zamannya, karena tidak mau memenuhi permintaan penguasa. Contoh-contoh itu sangat kaya dalam sejarah umat Islam. Tetapi tidak sedikit orang berilmu (‘alim) di zaman ini menjadi pemuja penguasa.
Rasulullah Saw pun mengingatkan dalam salah satu haditsnya yang diriwayatan oleh Ka’ab ibn ‘Ujroh, ia berkata, pernah Rasul keluar menjumpai kami, lalu bersabda :
 “Akan muncul setelah aku nanti Raja-raja (zhalim), maka siapa yang percaya pada kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Tetapi siapa yang tidak percaya kepada kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk dalam golonganku, aku bagian darinya, dan ia akan datang kepadaku di telaga (haudh) di syurga.”
6. Nasehat untuk sesama umat (Nasihat Li ‘Ammatil Muslimin)
Nasehat ini berdimensi horizontal, antar sesama kaum Muslimin. Nasehat ini tidak kalah pentingnya dibanding nasehat sebelumnya. Sebab apabila masyarakat itu menjadi baik, Allah akan pilihkan kepada mereka pemimpin yang baik pula. Demikian pula sebaliknya. Jadi perbaikan masyarakat melalui nasehat ini mutlak diperlukan. Apa saja program yang harus dijalankan dalam konteks ini? Di antaranya menanamkan kasih sayang kepada sesama Muslim, membela kepentingan kaum Muslimin, tidak menyakiti mereka, mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga ketakwaan dan kesalehan, dan seterusnya. Penjual wajib mengingatkan pembeli akan barang yang dijualnya.
Diceritakan bahwa dulu Jarir, seorang Sahabiy, kalau mau menjual barangnya, ia menceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barang itu, kemudian memberi kebebasan memilih. Iapun berkata : Kalau anda berminat, silakan beli, kalau tidak, silakan tinggalkan. Lalu ada yang berkata kepadanya : kalau anda menjual seperti ini, tidak akan ada orang yang membelinya. Ia menjawab : “Kami sudah berbai’ah kepada Rasul agar menyampaikan nasehat kepada setiap Muslim.”
Jadi, Jarir tidak peduli barangnya tidak laku gara-gara ia menceritakan cacar barang yang dijualnya. Tetapi yang lebih penting baginya, menjalankan pesan Nabi Saw agar memegang nasehat kepada setiap Muslim.
Bisa kita bandingkan kondisi pedagang di zaman Nabi dan pedagang di zaman sekarang. Di zaman ini, ada beberapa pedagang sengaja menyembunyikan cacat barangnya, asal barang itu terjual seluruhnya, padahal uang yang masuk ke kantongnya adalah uang haram. Kemana kita mencari kejujuran di zaman ini? Di mana ditemukan amanah saat ini? Pertanyaan yang susah dijawab. Korupsi merajalela, amanah hanya tinggal nama, kejujuran hampir tak dijumpai lagi. Masing-masing orang memburu dunia agar cepat kaya dengan cara apapun jua.ceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barangnya.
Kalau kita perhatikan di masyarakat saat ini, nasehat jenis ini sebagian sudah berjalan, tetapi tidak optimal. Ia berjalan melalui khutbah jum’at, pengajian di masjid-masjid, dan pendidikan di sekolah-sekolah agama. Namun, yang terbanyak dari umat ini, tidak datang ke Masjid, tidak menghadiri pengajian. Sehingga praktis, cara ini kurang berjalan merata. Keberadaan umat terbanyak ada di pasar, pusat perbelanjaan, di tempat mereka bekerja, atau duduk di depan televisi. Sayangnya, tempat-tempat ini sudah didominasi oleh kalangan yang tidak suka kepada Islam. Media kita sudah dikuasai oleh barat. Sehingga program dan isinya tidak jauh-jauh dari pornografi, musik, sport. Publik opini masyarakat juga sudah dikendalikan oleh Barat dan kaki tangannya melalui penguasaan mereka terhadap media, komunikasi dan ekonomi. Seharusnya umat Islam bangkit merebut pos-pos yang efektif mempengaruhi public opini agar apa yang tertuang dalam Hadits Nabi ini berjalan dengan baik.
Sekali lagi hadits ini masih tergolong singkat tetapi isinya mencakup seperempat ajaran Islam.

*Sumber: hasanalbanna.com
*pernah dimuat di buletin BM Barokah Edisi 12 Desember 2015

SYARAH HADITS ARBAIN KE-6 MEMBEDAKAN YANG HALAL DAN YANG HARAM

0 komentar

Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]


Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.

Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.

Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.

Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :
1. Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.
2. Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à seperti seorang laki-laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.
3. Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat.
Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :
1. Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
2. Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.

Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu. Wallahua’lam bishowwab

*pernah dimuat di buletin Barokah Edisi 11 Bulan November 2015

Syarah Hadits Arba’in Keempat "Penciptaan Manusia"

Jumat, 11 Maret 2016

0 komentar

Artinya:
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Penjelasan Hadits:
Hadits ini mengandung informasi ilmiyah tentang tahapan kejadian manusia di dalam perut ibunya. Janin dalam kandungan ibunya mengalami perkembangan beberapa fase, setiap fase berlangsung selama empat puluh hari : 1. Sperma (benih), 2. Segumpal Darah, 3. Sepotong Daging, 4. Peniupan ruh.
Sperma berlangsung selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah), selama empat puluh hari juga, kemudian berkembang lagi menjadi sepotong daging selama empat puluh hari. Setelah seratus dua puluh hari, datanglah malaikat meniupkan ruh ke janin itu.
Hadits ini juga mengandung keterangan tentang takdir, sebuah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt bagi setiap manusia menyangkut 4 hal ; rezeki, batas umur (ajal), amal (baik dan buruk), serta nasib (mulia atau celaka).
Perbedaan antara Qadha dan Qadar:
Ada dua istilah yang popular dalam masalah taqdir ; yaitu Qadha’ dan qadar. Keduanya sama-sama dipahami sebagai ketentuan Allah atas makhluk. Namun keduanya dapat dibedakan. Qadha’ lebih khusus dari Qadar, karena qadha’ merupakan keputusan di antara taqdir. Sedangkan qadar adalah taqdir itu sendiri. Qadha’ adalah ketetapan atau keputusan dari taqdir.
Para Ulama menerangkan perbedaan anatara kedua istilah di atas dengan membuat perumpamaan antara barang yang ditimbang dengan timbangan itu sendiri. Barang yang ditimbang disebut Qadar, sedang timbangan disebut qadha’. Abu ‘Ubaidah berkata kepada Umar ketika ia ingin lari dari wabah Tho’un di Suriah, “Apakah Anda ingin lari dari Qadha’ (ketetapan) Allah? Beliau menjawab : “Ya, saya lari dari Qadha’ Allah kepada Taqdir (qadar) Allah.” Maksudnya sebuah Qadar selama belum menjadi qadha’, masih ada harapan akan ditolak oleh Allah. Tetapi bilamana ia sudah menjadi qadha (keputusan) Allah, maka ia tidak dapat ditolak.
Keempat masalah tadi sudah ditentukan oleh Allah Swt pada waktu seseorang ditiupkan ruh kepadanya di dalam rahim ibunya. Namun bagi manusia, semua hal itu adalah masalah ghaib yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali hanya Allah. Siapapun tidak mengetahui tentang ajalnya, kapan akan tiba. Yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Begitu pula halnya dengan rezeki. Setiap orang sudah ditentukan (dituliskan) Allah rezekinya, apakah ia menjadi orang kaya, atau orang miskin, berapa pendapatannya. Seperti itu juga tentang amalnya, apakah amalnya di dunia ini baik atau buruk. Apakah ia akan menjadi manusia yang baik atau manusia penjahat. Dan juga telah dituliskan Allah apakah ia akan menjadi ahli syurga atau penghuni neraka.
Secara ketentuan, memang demikian adanya. Tapi apakah manusia mengetahui ketentuan tentang dirinya? Pasti “tidak”. Karena hal ini adalah masalah yang ghaib yang tidak diberitahu Allah siapapun kecuali orang yang Dia kehendaki. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang mengklaim bahwa dirinya mengetahui tentang nasib seseorang, atau masa depan seseorang, dia sebenarnya dalam keadaan berbohong.
Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya manusia berusaha (berikhtiyar), dan bekerja jika rezekinya sudah ditentukan? Jawabnya, Allah swt yang menetapkan takdir itu, Dia juga yang memerintahkan manusia untuk berusaha. Jadi usaha (ikhtiyar) wajib dilakukan berdasarkan perintah syari’at, sementara hasil dari ikhtiyar itu sudah ditentukan oleh Allah swt. Mungkin saja ikhtiyar itu berhasil dan menjadi penyebab bagi kesuksesan seseorang. Tetapi bisa jadi ikhtiyar itu gagal dan belum berhasil. Hanya Allah lah yang mengetahuinya.
Begitu juga dengan umur. Apabila seseorang sakit, maka ia wajib untuk berobat. Apakah pengobatan itu akan berhasil, sehingga si sakit itu menjadi sembuh, atau pengobatannya tak berhasil dan akhirnya ia meninggal, maka yang mengetahuinya hanya Allah Swt. Yang menentukan umur dan ajal itu adalah Allah dan Dia juga yang memerintahkan untuk berikhtiyar, berobat, jika seseorang mengalami sakit.
Demikian pula dengan amal. Manusia wajib berikhtiyar dengan mengusahakan amal yang baik, menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarangNya, atau wajib berbuat thaoat kepada Allah dan RasulNya. Artinya wajib bagi seseorang menapaki jalan hidup yang benar sesuai perintah Allah. Ia tidak boleh mengatakan, bahwa ia berbuat jahat karena Allah swt telah menetukan demikian. Ini adalah anggapan keliru. Allah swt sudah menerangkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk, kemudian manusia diberi akal untuk bebas menetukan pilihan, apakah ia memilih jalan yang baik atau sebaliknya. Allah juga menerangkan konsekuensi dari pilihan itu, bahwa siapa yang memilih jalan yang baik, akan mendapatkan ganjaran yang baik. Dan siapa memilih jalan yang salah, akan menerima ganjaran (hukuman) yang berat. Yang dinilai oleh Allah di sini adalah pilihan manusia.
Barangsiapa yang memilih jalan yang salah, maka ia dihukum karena pilihannya yang salah itu. Bukan Allah Swt yang sejak awal menginginkan dirinya supaya salah atau tersesat. Allah Swt tidak menentukan (memaksakan) seseorang agar jadi pezina atau penjahat, akan tetapi, ia menjadi jahat atau baik karena pilihannya. Namun Allah mengetahui dari awal bagaimana perjalanan orang tersebut di kemudian hari.
Kemudian suatu perbuatan baik, tidak akan terjadi kecuali atas seizin Allah dan petunjuk Nya. Demikian juga suatu perbuatan jahat, tidak akan terjadi kecuali izin Allah Swt. Maka ketika kebaikan terjadi, seorang hamba harus bersyukur kepada Allah, dan ketika keburukan terjadi, ia harus beristighfar kepadaNya.
Jadi keimanan kepada taqdir adalah mutlak, namun manusia dalam hidup ini harus tunduk kepada ketentuan Syari’at, seperti kewajiban berikhtiyar.
Dua jenis Perubahan; menjadi baik atau menjadi jahat:
Ujung dari hadits ini membuat perasaan setiap Muslim ketakutan dan khawatir. Rasulullah memberikan rincian yang lebih detail mengenai nasib masa depan seseorang di akhirat, apakah ia sebagai penghuni Syurga atau neraka. Ada orang yang sudah ditakdirkan sebagai penghuni neraka, maka kehidupannya di dunia akan senantiasa mengarah pada perbuatan dan prilaku ahli neraka, kendatipun orang tersebut pada awalnya beramal sebagaimana amal ahli syurga, namun tulisan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu. Hidupnya belakangan berubah menjadi buruk. Ia berprilaku seperti prilaku ahli neraka, kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, tempatnya kelak akan di neraka.
Secara ekstrim dicontohkan oleh Nabi Saw dalam hadits tersebut, bahwa ada orang yang sejak awal hidup dan beramal sebagaimana amal ahli syurga dan itu berlangsung terus menerus puluhan tahun hingga menjelang akhir hayatnya, ia berubah drastis (seratus delapan puluh derajat). Kata Nabi Saw : “Hingga jarak antara dia dengan syurga itu hanya sehasta saja”, menunjukkan saking dekatnya jarak tersebut. Andaikan ia meninggal dalam kesolehan seperti itu, ia akan masuk syurga. Namun ketentuan takdir sudah ditetapkan lebih dahulu, akhirnya iapun berubah dengan drastis (mendadak) dan kehidupannya sama seperti kehidupan ahli neraka, seperti kafir kepada Allah (murtad), mendustakan dan melecehkan ayat-ayat Allah (al-Qur’an), menghina Rasulullah, meragukan dan merendahkan  syari’at Allah, bahkan ada yang sampai mengaku sebagai Nabi atau mendapat wahyu dari Jibril, meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak berpuasa Ramadhan, dan perbuatan-perbuatan lain yang menjerumuskan manusia. Lalu ia mati dalam keadaan seperti ini, maka tempat yang menunggunya adalah neraka.
Ada apa gerangan perubahan itu?
Sebagian orang yang pada masa kecilnya baik dan tumbuh dalam ketaatan, tetapi karena pergaulan atau hidup di lingkungan orang-orang fasik yang tidak peduli dosa dan maksiyat, akhirnya terikut dan terbawa arus. Ia hidup dalam suasana Jahiliyah, jauh dari sinar Islam, akrab dengan maksiyat, narkotika, khamar, seks bebas, uang haram dan lainnya.. Begitulah hidupnya berlangsung hingga akhir hayatnya. Mereka inilah yang dikatakan sebagai ahli neraka. Na’uzu billah.
Namun Orang yg sudah menjadi baik dari awal, tidak seharusnya menjadi sombong, karena yang membolak-balikan hati adalah Allah Swt. Ia haruslah tetap berharap pada Allah, agar keadaannya yang baik, tidak berubah menjadi sebaliknya. Agar Allah memberikan kemantapan Iman hingga akhir hayatnya.
Perubahan Menjadi Baik:
Hadits tersebut juga memberikan contoh perubahan lain yang positif yaitu berubah menjadi baik, dari keadaan sebelumnya buruk dan jahat. Perubahan yang disajikan juga perubahan yang relatif ekstrim. Umpamanya, seseorang yang pada awalnya hidup dalam kekafiran, kedurhakaan, kefasikan. Saking buruknya amal orang tersebut diibaratkan jarak anatara dia dengan neraka hanya sehasta saja. Jika ia mati dalam keadaan seperti itu, ia akan masuk neraka. Akan tetapi suratan takdir sudah lebih dulu dituliskan, bahwa orang itu akan menjadi ahli syurga, lalu iapun berubah, sekalipun perubahan itu hanya berlangsung sebentar menjelang kematiannya. Namun kematiannya tiba setelah ia menjadi baik dan bertaubat. Inilah yang sering dikenal dengan “husnul Khatimah” (akhir kehidupan yang baik). Dan yang menentukan posisi seseorang adalah penutup amalnya. (al-A’mal bi-Khawatimiha). Kalau penutup amalnya baik, ia akan masuk syurga, dan jika penutup amalnya buruk, ia akan masuk neraka.
Salah paham terhadap Hadits ini
Hadits ini tidak boleh disalah pahami. Tidak boleh seseorang berprasangka, bahwa tak ada gunanya berusaha jadi baik, toh kalau takdirnya masuk surga, keadaan akan berubah menjadi baik. Seolah-olah manusia hanya seperti robot. Tidak. Sungguh tidak begitu. Tujuan hadits ini bukan demikian,.karena tak seorangpun yang mengetahui takdir dirinya atau orang lain, kecuali hanya Allah. Yang jelas Allah sudah menerangkan mana jalan yang baik dengan segala konsekuensinya dan mana jalan yang salah dengan segala resikonya. Manusia diberi kebebasan memilih dua jalan itu. Toh manusialah yang menentukan pilihannya.
Dampak dari Hadits ini
Dampak dari memahami Hadits ini secara benar ialah : jika seseorang merasa dirinya sudah berbuat baik sejak lama, ia harus berhati-hati dengan kemungkinan perubahan hidup yang bisa saja terjadi kapan saja. Karena yang membolak-balikkan hati adalah Allah Swt. Oleh karenanya ia harus berusaha sekuat tenaga menjaga kesolehan itu dan mengantisipasi agar tidak berubah. Caranya ialah dengan menjauhi hal-hal yang membuat manusia terjerumus ke dalam neraka, seperti menjaga pergaulan dan tidak mempergauli kecuali orang-orang yang baik saja. Begitu banyak orang celaka, yang awalnya bermula dari pergaulan yang buruk, salah memilih teman. Begitu juga menghindari sedapat mungkin godaan-godaan dunia yang berpotensi menggelincirkan, seperti jabatan, harta dunia, kesenangan yang menipu.
Bagi orang yang berperilaku buruk dan kufur, maka dengan mendengar hadits itu, menimbulkan harapan dalam dirinya, bahwa jika ia berubah menjadi baik, Allah itu Maha Pemaaf dan Pengampun, dan akan memasukkannya ke dalam syurga. Orang yang mau meninggal pun jika ia berubah menjadi baik, akan masuk syurga, apalagi orang yang masih lama masa hidupnya, jika ia menjadi baik, maka kemungkinan masuk syurganya akan lebih besar, Insya Allah.


*pernah dimuat di Buletin Baitul Mal Barokah Edisi 5 Bulan Mei 2015

Syarah Hadits Arba’ain Ketiga "Rukun Islam Sebagai Pondasi Agama"

Selasa, 08 Maret 2016

0 komentar


Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”(HR.Bukhori dan Muslim)
Syarah (penjelasan hadits)

Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Islam dibangun di atas lima perkara". Hal ini menerangkan tentang keagungan lima perkara ini, dan menunjukkan bahwa Islam dibangun di atas lima perkara ini. ini merupakan penyerupaan secara maknawi dengan bangunan yang bersifat konkrit. Sebagaimana bangunan tidak bisa tegak kecuali di atas tiang-tiangnya, maka demikian pula Islam hanya tegak di atas lima perkara ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya menyebut lima perkara ini karena semuanya merupakan asas bagi perkara-perkara yang lainnya. Ada pun perkara-perkara lainnya akan mengikuti lima perkara ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullaah menyebutkan hadits ini setelah hadits Jibril yang mencakup lima perkara ini, sebab hadits ini menerangkan betapa pentingnya kelima perkara ini. Bahwa kelima perkara ini merupakan asas yang dibangun di atasnya agama Islam. Sehingga dalam hadits ini terdapat makna tambahan bagi hadits Jibril.

Kelima rukun yang menjadi pondasi agama Islam ini, yang pertama adalah dua kalimah Syahadah yang merupakan asas yang paling pokok (ushul). Rukun-rukun lainnya dan perkara-perkara lainnya mengikuti rukun ini (Syahadah). Rukun-rukun tersebut dan amal-amal yang lainnya tidaklah akan bermanfaat jika tidak didasari oleh dua kalimah Syahadah ini. Kedua kalimah ini saling berkaitan satu sama lain. Syahadah Muhammad Rasulullaah harus diikuti dengan syahadah Laa Ilaaha Illallaah. Konsekwensi dari syahadah Laa ilaaha illallaah adalah beribadah hanya kepada Allaah semata. Dan konsekwensi dari syahadah Muhammad rasulullaah adalah beribadah harus dengan mengikuti syariat Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Kedua asas ini harus ada dalam setiap amal yang dikerjakan oleh seorang manusia (hamba). Maka dia harus memurnikan keikhlasan hanya kepada Allaah semata dan memurnikan ittiba' hanya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullaah berkata : "Jika ada yang bertanya mengapa tidak disebutkan iman kepada Nabi, Malaikat dan lainnya yang dicakup oleh pertanyaan Jibril 'alaihis salaam? Maka jawabannya adalah : "Makna syahadah adalah membenarkan Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkara yang dibawa oleh beliau. Sehingga mencakup semua apa yang beliau sebutkan berupa keyakinan. Al-Isma'ili berkata yang kesimpulannya : Ini termasuk menyebut sesuatu dengan hanya menyebut sebagiannya saja. Sebagaimana engkau mengatakan : "Aku membaca Al-Hamd", maka maksudnya adalah membaca surat Al-Fatihah secara keseluruhan. Demikian juga jika engkau mengatakan : "Aku mempersaksikan kerasulan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam", maka maknanya adalah engkau mempersaksikan (mengimani) seluruh apa yang telah beliau sebutkan. Wallaahu 'alam (Al-Fath I/50).
Rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimah syahadah adalah shalat. Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mensifatinya sebagai tiang dari agama Islam. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah hadits tentang wasiat beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada Mua'dz bin Jabal radhiyallaahu 'anhu yang merupakan hadits ke dua puluh sembilan dari Hadits Arbain ini. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pun meberitakan bahwa shalat merupalkan perkara agama yang akan hilang. Dan perkara pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat. Silakan merujuk kepada kitab Silsilah Hadits Ash-Shahihah karya Al-Imam Al-Albani rahimahullah no. 1739, 1358 dan 1748. Dengan shalat pula bisa dibedakan antara seorang muslim dan kafir. (Diriwayatkan Muslim no. 134)
Mendirikan shalat ada dua keadaan : Pertama : Wajib, yaitu menunaikannya minimal sesuai dengan tata cara yang diwajibkan sehingga dia dianggap telah menjalankan kewajiban.
Kedua : Mustahab, yaitu menyempurnakannya dengan melakukan segala hal yang dimustahabkan di dalam shalat.


Zakat merupakan gandengan dari shalat yang dijelaskan di dalam Kitabullaah dan Sunnah Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Firman Allaah Ta'ala :
"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan" (QS. At-Taubah : 5)
"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat, menunaikan zakat, Maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama.." (QS. At-Taubah : 11)

"Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan agar mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah : 5)

Zakat adalah ibadah yang bersifat materi yang manfaatnya menyebar (tidak terbatas hanya untuk pelakunya saja). Allaah telah mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dengan sifat yang menguntungkan bagi orang-orang miskin namun tidak merugikan orang kaya. Sebab zakat hanya berupa sejumlah kecil dari harta yang banyak.

Puasa Ramadhan adalah merupakan ibadah fisik. Puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah Ta'ala. Sebab diantara manusia ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan namun orang lain menganggapnya berpuasa. Bisa jadi pula seseorang melakukan puasa Sunnah dan orang lain menyangka dia tidak berpuasa. Karena itulah datang dalam sebuah hadits yang shahih bahwa seorang hamba akan diberikan balasan atas amalnya, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Kemudian Allaah Ta'ala berfirman :

"Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku. Aku yang akan membalasnya." (HR. Al-Bukhari 1894 dan Muslim 194)

Semua amal adalah untuk Allaah. Sebagaimana Allaah Ta'ala telah berfirman :

"Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allaah, Robb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allaah)." (QS. Al-An'am : 162-163)

Namun dikhususkannya puasa di dalam hadits ini sebagai milik Allaah karena tersembunyinya ibadah ini, tidak ada yang melihatnya kecuali Allaah.

Haji ke Baitullaah adalah ibadah materi dan fisik. Allaah mewajibkan ibadah ini sekali dalam seumur hidup. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan beribadah haji di dalam sabdanya :

مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَ لَمْ يَفسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ

"Barangsiapa yang berhaji menuju Baitullaah ini, tidak melakukan rafats (jima, dan hal-hal yang menuju ke sana) dan tidak berbuat fasiq, maka dia pulang seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya." (HR. Bukhari 1820 dan Muslim 1350)

Demikian juga beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الْعُمْرَةُ الَي الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَ الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلّا الْجَنَّةُ

"Umrah yang satu ke umrah yang lainnya merupakan kaffarah (penghapus) bagi dosa yang ada diantara keduanya. Dan hajji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga." (HR. Muslim no. 1349)

Hadits ini dalam redaksinya mendahulukan hajji sebelum puasa. Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Bukhari di awal Kitabul Iman dalam Shahihnya. Hadits ini dijadikan sebagai dasar bagi susunan kitabnya Al-Jami'ush shahih. Sehingga beliau mendahulukan Kitabul Hajj (pembahasan tentang hajji) sebelum Kitabush Shiyyam (pembahasan tentang puasa).

Telah datang dalam Shahih Muslim no. 19 hadits yang mendahulukan puasa sebelum hajji dan hajji sebelum puasa. Di jalur periwayatan yang pertama terdapat penegasan dari Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa bahwa yang dia dengar dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah penyebutan puasa terlebih dahulu sebelum hajji. Berdasarkan hal ini didahulukannya penyebutan hajji sebelum puasa di sebagian riwayat termasuk kategori perubahan yang dilakukan rawi atau periwayatan secara makna (tidak kontekstual). Redaksinya pada Shahih Muslim dari Ibnu Umar dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
"Islam dibangun di atas lima perkara : Di atas ketauhidan kepada Allaah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhajji."

Seorang laki-laki berkata (kepada Ibnu Umar) : "Hajji dan puasa Ramadhan?" Beliau menjawab : "Tidak, puasa Ramadhan dan Hajji. Demikianlah aku memndengarnya dari Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kelima rukun ini disebutkan secara berurutan sesuai dengan urgensinya masing-masing. Dimulai dengan dua kalimah syahadah yang merupakan asas bagi setiap amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allaah Ta'ala. Kemudian shalat yang dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali sehari semalam. Sehingga shalat merupakan hubungan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Kemudian zakat yang wajib dikeluarkan dari harta jika telah berlalu satu tahun, sebab manfaatnya bisa menyebar. Kemudian puasa yang wajib dalam satu bulan dalam satu tahun, merupakan ibadah fisik yang manfaatnya hanya bersifat pribadi. Kemudian Hajji yang wajib sekali dalam seumur hidup.
Di dalam Shahih Muslim terdapat riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhumaa menyampaikan hadits ini ketika beliau ditanya seorang laki-laki, dia berkata kepadanya : "Tidakkah engkau berperang?" Kemudian beliau menyebutkan hadits ini. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa jihad bukan termasuk dari rukun Islam. Sebab kelima perkara ini lazim dan kontinyu bagi setiap mukallaf. Berbeda dengan jihad, yang merupakan fardhu kifayah dan tidak setiap waktu.

Di antara kandungan hadits ini adalah :

1. Penjelasan urgensi kelima perkara ini karena menjadi pondasi bangunan Islam.

2. Menyerupakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit agar lebih mengena dalam fikiran.

3. Memulai urusan agama dengan yang paling penting.


4. Dua kalimah syahadah merupakan asas pada dua kalimah itu sendiri dan merupakan asas bagi yang lainnya. Sehingga sebuah amal tidak diterima kecuali dibangun di atas keduanya.

5. Mendahulukan shalat atas amal yang lainnya, karena merupakan penghubung yang kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Wallaahu 'alam bish showwab

*pernah dimuat di Buletin Barokah Edisi 4 April 2015