عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ).رواه البخاري ومسلم
Artinya :
Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, ‘Umar ibn
al-Khattab, radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
–Shallallahu alaihi wasallam- bersabda : “Sesungguh semua amal itu tergantung
pada niat melakukannya. Seseorang hanya akan mendapat sesuai apa yang ia
niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya untuk
Allah dan RasulNya. Siapa yang berhijrah karena mencari dunia, atau perempuan
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim dalam dua kitab shahihnya.
Latar
belakang Munculnya Hadits ini:
Kata Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang berhijrah
(meninggalkan suatu negeri dan pindah ke negeri lain) menginginkan sesuatu,
maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan itu. Ada seorang lelaki hijrah
(dari Makkah ke Madinah) dalam rangka mau menikahi seorang perempuan bernama
“ummu Qays”, lalu iapun diberi gelar “Muhajir Ummu Qays”.Kata Imam Thabrany,
orang tersebut melamar Ummu Qays, tapi Ummu Qays menolak, kecuali orang itu mau
ikut bersama hijrah ke Madinah. Lelaki itupun bersedia, oleh karenanya ia
diberi julukan di atas.
Penjelasan:
Sungguh. Hadits ini mengandung pelajaran yang teramat penting.
Karena semua amal manusia, diterima atau tidaknya, tergantung pada niat ikhlas
karena Allah Ta’ala. FIrman Allah :
“Dan mereka tidak diperintah melainkan menyembah Allah dengan
memurnikan kethaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Surat
al-Bayyinah :5).
Begitu banyak amal yang dikerjakan orang tidak atas dasar
keikhlasan kepada Allah, akhirnya amal mereka sia-sia. Contoh riil, banyak kita
saksikan, ketika menjelang pemilu (pemilihan umum) atau pilkada (pemilihan
kepala daerah). Para calon yang akan dipilih datang minta dukungan dari
masyarakatnya, menabur bantuan social, dari mulai sembako (bahan makanan)
hingga uang, kepada fakir miskin dengan tujuan untuk memperoleh suara dalam
pemilu dan pilkada. Bantuan seperti ini, baik material ataupun tenaga, tidak
dimaksudkan untuk mencari ridho Allah, akan tetapi untuk mendapatkan suara
pemilih, maka bantuan itu tidak akan dinilai oleh Allah Swt, alias sia-sia.
Kalau kita membaca hadits-hadits di seputar riya’ membuat kita takut melakukan
amal yang tidak didasari atas keikhlasan.
Dalam salah satu hadits Qudsy, disebutkan firman Allah, “Aku
adalah sekutu yang paling kaya. Barangsiapa yang beramal, lalu ia menyertakan
Aku dan sekutu (sesuatu) yang lain, maka Aku berlepas diri darinya dan Aku
tinggalkan ia dan sekutunya”. Artinya amal itu sia-sia tidak dipandang oleh
Allah.
Banyak orang kita lihat tingkat keberagamaannya (kesolehannya)
ketika menjelang pemilu/pilkada, meningkat. Ia rajin datang ke Masjid, suka
mendengar pengajian, bahkan memnberi sumbangan. Namun niatnya tidak lebih hanya
mencari simpati orang, menunjukkan ke public, bahwa dirinya pantas dipilih,
karena ia insan yang taat beragama. Mereka kira Allah bisa ditipu. Manusia
mungkin bisa ditipu, tetapi Allah tidak bakal bisa ditipu.
Jadi niat yang baik (ikhlas) bila dipakai untuk perbuatan yang
baik dan dibenarkan, akan melahirkan pahala yang besar. Tapi niat yang “baik”
bila dipasang pada perbuatan yang salah, jelas tidak akan membuahkan pahala.
Niat yang salah (buruk) bila dipakaikan untuk pekerjaan yang baik apa lagi yang
terlarang, tidak akan menghasilkan apa-apa melainkan dosa..
Apakah ada niat yang baik dipakai untuk pekerjaan yang salah?
Sebagai contoh, di masyarakat sering kita dengar penyalahgunaan
makna sebuah istilah. Umpamanya dalam praktik korupsi, kerjasama orang yang
memberi sogok dan yang menerima sogok, menurut mereka saling membantu. Sedang
sikap saling membantu adalah sikap yang dianjurkan oleh Islam.Yang disogok, mengaku
membantu kelancaran urusan si pemberi sogok. Dan si pemberi sogok mengaku
merasa membantu orang yang disogok, dengan imbalan urusannya lancar, atau
proyeknya menjadi mulus. Kata mereka, mereka saling membantu, yang biasanya
dipahami sebagai perbuatan yang baik (khoyr). Na’uzubillah. Padahal mereka
sudah terperosok dalam larangan Allah Swt : “Janganlah kamu tolong menolong
dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.”
Perbuatan baik jika ditumpangi niat yang salah, hasilnya akan
sia-sia. Seperti orang pergi menunaikan haji, dengan tujuan untuk mendapat
penghargaan dari masyarakatnya, memperoleh penghormatan dari lingkungannya, dan
untuk meyakinkan orang lain akan tingkat keberagamaannya. Maka perbuatannya ini
sia-sia belaka. Begitu juga orang yang memberi bantuan atau hadiah dengan niat
agar supaya disegani orang, karena suka memberi bantuan, pemberiannya itu hanya
sia-sia tidak dipandang oleh Allah swt.
Perhatikan hadits Rasul Saw berikut: “Sesungguhnya Allah tidak
menerima suatu amal melainkan apa yang ditujukan semata-mata kepadaNya dan
mencari wajahNya.”
Oleh karenanya, setiap Muslim harus memperhatikan sekali niatnya
dalam melakukan perbuatan ibadah apapun, seperti shalat, puasa, bersedekah,
menuntut ilmu agama, berjihad, menolong orang yang lemah, membantu orang yang
membutuhkan, dan seterusnya. Ia harus menjaga niat atau motivasinya dalam
melakukan sesuatu semata-mata karena mencari ridho Allah, bukan mencari simpati
manusia, agar dipuji, agar, disegani, dihormati dan diagung-agungkan.
Dalam keidupan di zaman modern ini, banyak sekali kita lihat
orang-orang berbuat kebaikan, tetapi tujuannya bukan mencari ridho Allah,
tetapi untuk pamer dan mempertontonkan kebaikannya. Ada sebagian orang
mengundang anak-anak Panti Asuhan untuk dijamu makan, lalu mereka undanglah
televisi atau media supaya beritanya ditayangkan di televisi dan iapun
diwawancarai. Setelah itu iapun ditonton orang dan dipuji, sebagai orang
dermawan. Banyak di antara mereka ini profesinya sehari-hari jauh dari tuntunan
agama, seperti artis sinetron atau bintang iklan, pelawak, presenter yang
memamerkan paha dan dadanya di depan publik. Mereka kira dengan menjamu
anak-anak yatim, persepsi orang akan serta merta berubah terhadapa mereka. Tak
jarang juga mereka pergi melaksanakan umroh atau haji untuk tujuan duniawi itu,
agar supaya citranya di masyarakat berubah jadi baik. Ibadah mereka hanya untuk
pamer, tidak akan dilihat oleh Allah Swt. Juga ada sebagian orang yang
menghadiri Majelis Taklim, khususnya di kalangan ibu-ibu, tujuannya untuk
memamerkan bajunya yang mahal, perhiasannya yang indah. Hingga dalam menuntut
ilmu dien sekalipun, tidak boleh dilakukan dengan niat mencari pujian orang.
Peringatan mengenai hal ini kita dapat dari Rasulullah Saw.
Dalam Hadits Shahih disebutkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dituntut karena mencari ridho
Allah, akan tetapi ia menuntutnya dengan tujuan mencapai target duniawi, maka
ia tidak akan mencium bau syurga”. Padahal baunya sudah tercium dalam empat
puluh tahun perjalanan.
Ketulusan yang palsu:
Di zaman ini, banyak sekali kebaikan-kebaikan itu dipalsukan
orang. Di depan public, ia berbicara bagus kedengaran, tetapi belakangan baru
terbongkar motif hakiki atau niat yang asli. Banyak tokoh yang terjun ke
panggung politik, apakah sebagai wakil rakyat, rame-rame mendirikan partai,
ataupun sebagai pejabat eksekutif, ketika diwawancarai, penjelasannya sangat
memukau banyak orang. Rata-rata mereka beralasan, mereka ingin menyumbangkan
pikirannya dalam membangun bangsa, memperbaiki keadaan, mengentaskan
kemiskinan, memajukan anak bangsa dan sederetan puisi dan pantun yang dapat
dikarang untuk menipu public. Mereka mengira ucapan mereka tidak didengar oleh
Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat, Allah ‘Azza wajalla. Tidak terlalu lama
sejak mereka berbicara, kasus-kasus merekapun terbongkar melakukan korupsi,
menghambur-hamburkan uang Negara. Memang tak semua orang yang terjun ke politik
seperti itu, tapi kebanyakan mereka terjun ke sana, bukan untuk memperbaiki
keadaan bangsa, tetapi karena tarikan dunia melalui jabatan yang dapat
mengantarkan seseorang menjadi orang kaya mendadak, punya harta dimana-mana,
tanpa susah payah mengusahakannya. Inilah yang dikatakan ketulusan yang palsu.k
bangsa dan sederetan puisi dan pantun yang dapat dikarang untuk menipu publik.
keadaan, mengentaskan kemiskinan
Kombinasi niat yang dibolehkan:
Tidak semua kombinasi niat dianggap buruk dan terlarang sehingga
mengakibatkan amal itu tertolak. Yang jelas dan nyata terlarang adalah niat
karena Allah bercampur dengan niat untuk mencari simpati orang, mendapatkan
pujian dan penghormatan orang lain. Perbuatan ini disebut Riya’, dan ini
termasuk ‘syirik khafy’ (syirik yang tersembunyi).
Adapun percampuran niat karena Allah dengan sesuatu yang lain
untuk mendapatkan keuntungan materil, menurut para Ulama, tidak sampai merusak
amal itu, selama tujuan pendamping itu tidak dominan. Yang dominan adalah
karena mencari wajah Allah. Seperti pergi haji, disamping untuk tujuan ibadah,
juga untuk berbisnis, membawa barang dagangan untuk dijual atau dibeli di tanah
suci. Sehingga ia kembali membawa ajrun (pahala) dan ujratun (keuntungan).
Dahulu para sahabat juga ketika keluar Jihad fi Sabilillah,
mereka berdoa agar diberikan Allah lawan tarungnya orang yang kaya. Sehingga
kalau orang musyrik kaya itu mati terbunuh, maka yang mengalahkannya
mendapatkan salab (harta bawaan) yang banyak. Sikap ini tidak dilarang oleh
Nabi Saw. Kalau sekiranya itu salah, niscaya akan ada hadits yang melarangnya..
Justru Rasul bersabda : “Barangsiapa yang membunuh seorang (musyrik) dalam
suatu perang, maka ia akan memperoleh salab (harta bawaan)nya.”
Niat dalam perspektif Ahli Fiqh
Menurut Ahli Fiqh, niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah
dan kebiasaan. Juga membedakan antara satu ibadah dengan Ibadah lainnya. Contoh
sederhana saja mandi atau bersuci. Mandi bisa saja tujuannya untuk menyegarkan
badan yang lesu, atau menghilangkan keringat. Ini dinamakan mandi karena
kebiasaan atau karena kebutuhan. Tapi ada mandi yang tujuannya ibadah, yaitu
mengangkatkan hadats besar, mandi selesai haydh bagi wanita, mandi untuk pergi
shalat Jum’at. Ini semuanya mandi untuk tujuan Ibadah.
Jadi dengan niat, sebuah perbuatan berubah dari kebiasaan yang
tidak menghasilkan pahala menjadi ibadah yang mendatangkan pahala bahkan
menjadi kewajiban.
Perubahan niat di tengah
perjalanan:
Tak dapat dipungkiri untuk menjaga kelestarian niat yang ikhlas
dari sejak awal perbuatan itu dilakukan hingga akhirnya dan untuk seterusnya,
bukan suatu hal yang mudah. Bahkan hampir tak ada orang yang dapat melakukannya
kecuali hanya sedikit. Lalu apakah ketika terjadi perubahan di tengah
perjalanan amal itu, akan menghancurkan amal itu secara total?
Para Ulama menerangkan, bila suatu amal sudah diawali dengan
niat ikhlas karena Allah, maka perubahan yang mungkin terjadi di tengah
perjalanan, karena factor-faktor kelemahan diri sebagai manusia, maka tidak
sampai menghancurkan amal itu seluruhnya. Demikian dikatakan Imam Ash-Shan’ani
di dalam Subulussalam.
Ini memang realistis. Andaikan perubahan itu menghancurkan amal
seluruhnya, niscaya sangat menyulitkan posisi manusia sebagai hamba Allah yang
lemah. Allah Swt Maha mengetahui akan kelemahan hambaNya. Untuk mengantisipasi
ini, maka setiap Muslim hendaknya senantiasa segera kembali kepada Allah setiap
kali Syaitan mengalahkannya, dengan memperbanyak istighfar dan meminta kepada
Allah agar amalnya diterima di sisiNya.
Sumber: http://www.hasanalbanna.com/
pernah dimuat di Buletin BM Barokah edisi 2 Februari Tahun 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan kritik dan saran anda...Jazakumullah Khoir...