SYARAH HADITS ARBAIN KE-7 "Agama Adalah Nasehat"

Jumat, 18 Maret 2016


Diriwayatkan dari Tamim ad-Dary –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : ” Dien adalah nasehat”. Kata kami : untuk siapa?. Sabda beliau : “Nasehat untuk Allah, Kitabullah, RasulNya, pemimpin-pemimpin kaum Muslimin dan sesama mereka.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Tema Sentral Hadits ini :
Tema sentral hadits ini adalah soal Nasehat. Inti dien ini adalah nasehat. Nasehat di dalam hadits ini biasa diartikan ketulusan jiwa terhadap pihak yang dinasehati; agar mengetahui kewajibannya kepada Allah, kepada kitabullah, kepada Rasulullah. Nasehat sedemikian penting dalam kehidupan umat Islam. Umat tidak boleh hidup cuek (La Mubalaah), tidak mau tahu dengan lingkungan sekitarnya, membiarkan apa saja terjadi, tanpa peduli. Setiap Muslim harus bersedia menasehati dan siap pula dinasehati.
Penjelasan :
1. Sungguh nasehat merupakan hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kadang suatu bencana, malapetaka, musibah atau kerusakan tidak terjadi jika program nasehat ini berjalan baik. Dalam bahasa popular, nasehat ini bisa diterjemahkan sebagai pengendali sosial (social control).
Hadits ini menerangkan jenis nasehat itu beragam dan tidak hanya searah. Rasulullah juga merinci isi nasehat yakni untuk Allah, al-Qur’an dan Rasulullah. Dimensinya juga dirinci, ada nasehat kepada pemimpin sebagai nasehat dari bawah ke atas (bottom up), di samping nasehat yang bersifat horizontal, antar sesama Muslim. Sistem ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup.
Kata dien juga bisa berarti amal, dan oleh karena amal inilah,hal ini harus berjalan. Kalau terjadi penyumbatan, maka di sana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hidup. dien disebut sebagai nasehat.
Saking pentingnya hadits ini oleh sebagian Ulama kedudukannya dikategorikan seperempat dien (agama). Demikian kata Imam Muhammad ibn Aslam at-Thusy. Bahkan kata Imam Nawawy hadits ini mencakup seluruh sasaran dien, sebab dien ini terangkum dalam poin-poin yang dijabarkan oleh hadits ini.
2. Nasehat untuk Allah (Nasihat Lillah)
Apa yang dimaksud dengan Nasehat untuk Allah? Maksudnya adalah beriman kepada Allah, tidak mensekutukanNya, tidak mengingkari sifat-sifatNya, menjauhkanNya dari berbagai kekurangan, mentaatiNya, menjauhi maksiat padaNya,
3. Nasehat demi Kitab Allah (Nasihat Likitabillah)
Maksud nasehat Likitabillah adalah mengimani al-Qur’an sebagai kalam Allah yang tidak serupa dengan kalam manusia manapun. Tak seorangpun yang sanggup menandinginya. Juga berarti berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Juga berarti mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an, mendakwahkan isinya, dan membongkar kepalsuan orang-orang yang menyalahgunakannya.
4. Nasehat demi Rasulullah (Nasihat Li Rasulillah)
Nasehat untuk Rasul maksudnya mencontoh prilakunya, menghidupkan sunnahnya, menyebarkan hadits-haditsnya, mencintai Rasul dan keluarganya, menyampaikan nasehat atau pesan kepada orang agar berpegang kepada petunjuk-petunjuknya Saw.
5. Nasehat untuk Pemimpin (Nasihat Li A’immatil Muslimin)
Nasehat jenis ini menyangkut nasehat yang berdimensi vertical, dari rakyat kepada pemimpinnya. Inilah yang sering dilupakan kaum Muslimin, termasuk para ‘Ulama. Dari hadits ini kita ketahui bahwa Islam mengajarkan keharusan setiap Muslim menyampaikan nasehat kepada pemimpin mereka agar jangan sampai, kedudukan pemimpin yang berada di “atas” membuat rakyatnya takut menyampaikan nasehat. Akibatnya membuat pemimpin lupa akan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Allah Swt. Akhirnya mereka berbuat sesuka hatinya, memaksakan kemauannya dan menzalimi rakyatnya. Atau dalam bahasa kontemporer disebut pemimpin yang otoriter. Untuk mencegah hal itulah, sistem nasehat secara timbal balik perlu dijalankan. Jadi hadits ini bisa diartikan sebagai perintah agar perjalanan kepemimpinan harus diawasi dan tidak dibiarkan berjalan sendiri.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurayrah berkata, Rasulullah bersabda :
 “Allah menyukai dari kamu tiga perkara dan membenci dari kamu tiga perkara pula : Allah meridhoi kalau kamu beribadah kepadaNya, tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an) seluruhnya, tidak berpecah belah, dan kamu sampaikan nasehat kepada pemimpin yang Allah berikan kepadanya kekuasaan memimpin kamu. Allah membenci dari kamu: mengutip ucapan si A dan ucapan si B (berpaling dari petunjuk wahyu kepada ucapan manusia), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” Riwayat Ahmad, Malik, Bukhari dalam al-adab al-mufrad.
Namun menasehati pemimpin sudah barang tentu mempunyai etika sendiri, tidak semaunya saja, sehingga meruntuhkan martabatnya, melukai harga dirinya di depan umum. Kepada sesama Muslimpun itu tidak diperkenankan, apalagi kepada pemimpin.
Masih dalam konteks menasehati pemimpin, berikut ini kami kutipkan penjelasan dari seorang ‘alim salaf, Abu Utsman yang lebih rinci bagaimana menjalankan program nasehat kepada pemimpin ini.
Abu Utsman berkata : “Nasehatilah pemimpin, perbanyaklah doa untuk dia demi kebaikan dan kecerdasannya dalam perkataan, perbuatan dan memerintah. Sebab jika mereka baik, manusia ikut menjadi baik gara-gara mereka. Jangan sekali-kali engkau mendoakan kecelakaan mereka, sehingga keburukan mereka akan semakin parah dan bala akan semakin menimpa kaum Muslimin. Akan tetapi doakanlah mereka agar bertaubat, sehingga mereka meninggalkan keburukan dan terangkat pula bala’ (bencana) dari kaum Mukminin. Jangan engkau mendatangi mereka, atau sengaja mengada-ada untuk menjumpai mereka, atau engkau suka kalau mereka mendatangimu, dan berusahalah untuk lari dari mereka sedapat mungkin selama mereka mengerjakan keburukan. Jika mereka bertaubat, meninggalkan kejahatannya dalam perkataan, perbuatan, dan hukum kemudian mereka mengambil dunia dari pintunya yang benar, itulah yang diharapkan. Jangan engkau mencari kemuliaan dari mereka, agar supaya engkau jauh dari mereka, namun tetap dekat dengan kasih sayang serta nasehat terhadap mereka, insya Allah.”
‘Ulama sebagai pemimpin umat dalam wilayah dien, harusnya mengambil peran sebagai pemberi nasehat. Bukan sebagai penyair yang memuja-muji prilaku pemimpin. Kalau perlu mengkritik sikap yang keliru dari pemimpin, supaya kekeliruan itu tidak terus menerus berkelanjutan. Padahal contoh keteguhan sikap Ulama dalam sejarah Islam sangat kaya. Mereka rela pindah tidur ke sel penjara, demi menyuarakan kebenaran. Mereka rela dikucilkan dan difitnah penguasa demi mencari ridho Allah Swt. Imam Ahmad ibn Hanbal, mendekam di penjara hingga meninggal di dalamnya, karena keteguhannya membela ‘aqidah yang benar di masa rezim Muktazilah. Imam Abu Hanifah dan Syafi’i juga punya catatan sejarah berhadapan dengan penguasa di zamannya, karena tidak mau memenuhi permintaan penguasa. Contoh-contoh itu sangat kaya dalam sejarah umat Islam. Tetapi tidak sedikit orang berilmu (‘alim) di zaman ini menjadi pemuja penguasa.
Rasulullah Saw pun mengingatkan dalam salah satu haditsnya yang diriwayatan oleh Ka’ab ibn ‘Ujroh, ia berkata, pernah Rasul keluar menjumpai kami, lalu bersabda :
 “Akan muncul setelah aku nanti Raja-raja (zhalim), maka siapa yang percaya pada kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Tetapi siapa yang tidak percaya kepada kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka ia termasuk dalam golonganku, aku bagian darinya, dan ia akan datang kepadaku di telaga (haudh) di syurga.”
6. Nasehat untuk sesama umat (Nasihat Li ‘Ammatil Muslimin)
Nasehat ini berdimensi horizontal, antar sesama kaum Muslimin. Nasehat ini tidak kalah pentingnya dibanding nasehat sebelumnya. Sebab apabila masyarakat itu menjadi baik, Allah akan pilihkan kepada mereka pemimpin yang baik pula. Demikian pula sebaliknya. Jadi perbaikan masyarakat melalui nasehat ini mutlak diperlukan. Apa saja program yang harus dijalankan dalam konteks ini? Di antaranya menanamkan kasih sayang kepada sesama Muslim, membela kepentingan kaum Muslimin, tidak menyakiti mereka, mengingatkan mereka agar senantiasa menjaga ketakwaan dan kesalehan, dan seterusnya. Penjual wajib mengingatkan pembeli akan barang yang dijualnya.
Diceritakan bahwa dulu Jarir, seorang Sahabiy, kalau mau menjual barangnya, ia menceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barang itu, kemudian memberi kebebasan memilih. Iapun berkata : Kalau anda berminat, silakan beli, kalau tidak, silakan tinggalkan. Lalu ada yang berkata kepadanya : kalau anda menjual seperti ini, tidak akan ada orang yang membelinya. Ia menjawab : “Kami sudah berbai’ah kepada Rasul agar menyampaikan nasehat kepada setiap Muslim.”
Jadi, Jarir tidak peduli barangnya tidak laku gara-gara ia menceritakan cacar barang yang dijualnya. Tetapi yang lebih penting baginya, menjalankan pesan Nabi Saw agar memegang nasehat kepada setiap Muslim.
Bisa kita bandingkan kondisi pedagang di zaman Nabi dan pedagang di zaman sekarang. Di zaman ini, ada beberapa pedagang sengaja menyembunyikan cacat barangnya, asal barang itu terjual seluruhnya, padahal uang yang masuk ke kantongnya adalah uang haram. Kemana kita mencari kejujuran di zaman ini? Di mana ditemukan amanah saat ini? Pertanyaan yang susah dijawab. Korupsi merajalela, amanah hanya tinggal nama, kejujuran hampir tak dijumpai lagi. Masing-masing orang memburu dunia agar cepat kaya dengan cara apapun jua.ceritakan kepada pembeli tentang cacat-cacat barangnya.
Kalau kita perhatikan di masyarakat saat ini, nasehat jenis ini sebagian sudah berjalan, tetapi tidak optimal. Ia berjalan melalui khutbah jum’at, pengajian di masjid-masjid, dan pendidikan di sekolah-sekolah agama. Namun, yang terbanyak dari umat ini, tidak datang ke Masjid, tidak menghadiri pengajian. Sehingga praktis, cara ini kurang berjalan merata. Keberadaan umat terbanyak ada di pasar, pusat perbelanjaan, di tempat mereka bekerja, atau duduk di depan televisi. Sayangnya, tempat-tempat ini sudah didominasi oleh kalangan yang tidak suka kepada Islam. Media kita sudah dikuasai oleh barat. Sehingga program dan isinya tidak jauh-jauh dari pornografi, musik, sport. Publik opini masyarakat juga sudah dikendalikan oleh Barat dan kaki tangannya melalui penguasaan mereka terhadap media, komunikasi dan ekonomi. Seharusnya umat Islam bangkit merebut pos-pos yang efektif mempengaruhi public opini agar apa yang tertuang dalam Hadits Nabi ini berjalan dengan baik.
Sekali lagi hadits ini masih tergolong singkat tetapi isinya mencakup seperempat ajaran Islam.

*Sumber: hasanalbanna.com
*pernah dimuat di buletin BM Barokah Edisi 12 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan kritik dan saran anda...Jazakumullah Khoir...